Saya pandangi foto yang berpendar di layar persegi panjang kamera itu lambat-lambat. Terlihat kabur dengan objek yang sama sekali tak fokus.
“Sayang sekali, padahal momennya bagus,” pikir saya.
Saya tekan tombol di ujung kanan, berpindah ke rekaman gambar selanjutnya. Sama saja. Seperti foto sebelumnya, potret itu juga kurang memuaskan. Buram dan penuh garis membayang.

Saya teruskan meninjau beberapa gambar lain, berharap hanya satu dua yang bernasib serupa. Nyatanya tidak. Tiga, empat, lima, hingga nyaris dua puluh foto berikutnya ternyata begitu juga.
Kening saya mulai mengernyit.
Saat jemari kembali terhenti pada satu gambar, saya dorong kenop kecil yang menonjol di pojok atas kamera. Foto itu lantas membesar, memperjelas detail yang membuat gusar.

Saya mendengus pelan. Ada sedikit kecewa yang menyesak tiba-tiba. Bagaimana tidak; deretan foto tadi -yang saya ambil di Gurun Sahara-, ternyata jauh dari sempurna. Rasa kesal mungkin tak akan muncul bila Sahara berjarak sekelebatan mata dan dapat dikunjungi kapan saja saya suka. Kenyataannya, Sahara terletak nun di Benua Afrika. Jauh di luar jangkauan saya.
Untung saja, masih ada beberapa foto yang hasilnya cukup menggembirakan dan bisa jadi pengobat kecewa.

Sejujurnya, setiap kali mengambil gambar saat melancong, saya memang kerap tak memeriksa kembali hasil tangkapan lensa. Kadang karena malas, seringkali pula karena tak ingin menghabiskan waktu yang terbatas.
Hanya saja, kali ini saya sedikit menyesal tak melakukannya.
Menuju Sahara
Angan saya melayang kembali ke perjuangan panjang hari itu. Menghabiskan belasan jam dengan kombinasi beragam moda transportasi membuat perjalanan menuju tepian Gurun Sahara menjadi salah satu tualang paling melelahkan yang pernah saya lalui.
Perjalanan darat selama 10 jam saya awali dari Marakesh, kota terbesar keempat di Maroko. Tak banyak yang bisa dilihat dari dalam kendaraan. Hanya tanah tandus datar berwarna coklat yang membuat mata penat.

Lansekap baru mulai menarik saat memasuki wilayah Pegunungan Atlas yang memisah pesisir Laut Tengah dari Gurun Sahara. Di area ini, jalanan aspal sempit yang dilewati kendaraan membelah gunung-gunung yang bersisian di kiri dan kanan. Semarak hijau pepohonan juga mulai bermunculan.



Saat itu sore, sekitar pukul setengah empat. Mobil van putih yang saya tumpangi akhirnya berhenti di satu sudut hunian penduduk. Daerah ini merupakan batas akhir pemukiman. Masih sama tandusnya. Namun, di beberapa sudut terlihat semak-semak berdaun kecil coklat muda.


Hanya ada beberapa rumah batu dengan dinding dilumuri lempung di sana. Tak ada bangunan bertingkat yang terlihat. Tepat di belakang rumah-rumah tersebut, membentang hampir seluas Amerika Serikat, adalah gurun terbesar ketiga di dunia: Sahara.


Gurun yang setiap tahun bertambah luas ini memang bukan yang terbesar. Peringkat pertama masih diduduki Gurun Antartika di Kutub Selatan, disusul saudaranya Gurun Artik di Kutub Utara. Keduanya tentu saja berjenis gurun kutub, satu dari empat tipe gurun yang ada di dunia.
Penumpang van disilakan turun dan beristirahat sejenak. Beberapa bergegas menuju rumah penduduk, satu-satunya pilihan tempat bila ingin menumpang buang hajat. Saya termasuk yang berpikiran serupa.

Pemilik rumah menyilakan saya masuk saat saya mengucap salam di depan pintu. Setelah meminjam toilet dan bebersih singkat, saya sempatkan bercengkerama dengan si tuan rumah. Ayyub namanya, pria kelahiran Algeria berumur sekitar 30 tahun. Setengah memaksa, ia meminta saya mencicipi teh hangat yang sudah disiapkan di meja.

Sedikit mirip dengan warga Jepang yang menikmati teh dalam mangkuk kecil atau masyarakat Inggris yang menyesap teh dalam cangkir mini bertangkai, penduduk Maroko juga menikmati teh dalam porsi mungil. Berbeda sekali dengan kebiasaan kita yang acap menenggak es teh manis dalam satu gelas raksasa.

Di Maroko teh diseduh panas lalu dituang ke dalam gelas kaca kecil yang tingginya hanya setelunjuk jari. Air teh ini disajikan dengan sedikit gula dan remasan daun mint. Perpaduan rasa mint dan teh yang manis ternyata cukup membantu membangkitkan kembali energi yang tadi terkuras sepanjang perjalanan.
Menikmati Penghujung Hari di Atas Dromedari
Saya ucapkan terima kasih pada Ayyub lalu buru-buru ke halaman belakang rumah. Sekitar 20 meter dari pintu, sudah duduk berjejer 20 ekor dromedari -sebutan untuk jenis unta berpunuk satu. Satu sama lain diikat dengan tali agar tak terpisah. Dromedari ini juga dibagi menjadi beberapa rombongan kafilah yang masing-masing dikomandoi oleh satu pemandu. Mereka inilah yang akan mengantar ke tujuan akhir: tenda Badui di tengah gurun, tempat kami menginap dan menghabiskan malam.

Agar penumpang dapat duduk nyaman, punuk setiap dromedari dijejali tumpukan kain tebal dan dipasangi pegangan tangan berbentuk huruf T. Sebelum naik, kami diminta memasang litham -penutup kepala khas Maroko, berupa kain polos panjang yang dililitkan di kepala, menutupi separuh muka dan hanya menyisakan mata. Tujuannya tentu saja untuk melindungi wajah dari debu, pasir, dan terik mentari.


Setelah semua siap, satu per satu kami diperbolehkan menaiki dromedari.
Satu ekor di bagian belakang rombongan jadi incaran saya. Berada di posisi paling belakang, pikir saya, akan lebih memudahkan saya memotret rombongan kafilah secara penuh, ketimbang bila mengendarai dromedari paling depan.
Pelan-pelan, saya naiki dromedari paling belakang, lalu duduk dan mencari posisi yang nyaman di atas ‘sadel.’ Alih-alih empuk, ternyata dudukan tersebut cukup keras dan padat.
Dromedari yang saya naiki sigap berdiri sesaat setelah saya duduki. Buru-buru tangan saya meraih pegangan agar tak hilang keseimbangan.

Saya belum pernah menaiki unta. Dulu, saya pernah mencoba berkuda di padang pasir Bromo. Sedikit aneh memang rasanya, menaiki makhluk yang bisa berpikir dan mengontrol dirinya sendiri. Berbeda dengan motor yang geraknya di bawah kuasa pengendara, menunggangi hewan seperti kuda atau unta berpeluang penuh hal tak terduga. Mereka bisa saja berhenti dan menggeram bila merasa terancam, tiba-tiba berlari, atau melakukan beragam hal di luar kendali.
Jika saat mengendarai kuda tersedia sadel dan tempat kaki, tidak demikian saat menaiki dromedari di sini. Kaki penumpang dibiarkan menggelantung bebas tanpa tumpuan, menempel di perut hewan yang ditunggangi.

Beberapa puluh menit berjalan, saya sampai pada kesimpulan, menunggangi dromedari di atas pasir ternyata tak terlalu nyaman. Badan bergoyang ke depan dan belakang, membuat tangan harus menggenggam pegangan kuat-kuat. Untungnya, ketidaknyamanan tersebut cukup sebanding dengan uniknya pemandangan.

Matahari sudah tak terlalu terik. Mungkin itulah kenapa perjalanan dengan van tadi diatur agar sampai di tepian Sahara menjelang sore. Suhu udara tengah hari tentunya terlalu panas, apalagi buat pendatang yang tak terbiasa.
Mula-mula kami menyusuri tepi gurun yang dipenuhi batu dan kerikil. Beberapa semak tumbuh di sela pasir kasar coklat keabuan. Semakin jauh ke tengah gurun, saya menyadari butiran pasir yang terhampar semakin mengecil, hingga di satu titik, tak terlihat hal lain di bawah cakrawala, kecuali bentangan pasir halus laksana tepung berwarna jingga cerah.



Angin gurun yang sesekali berembus rupanya gemar sekali mengukir garis-garis panjang dengan pola tertentu di atas butir-butir pasir tadi. Seperti lukisan alam, ornamen itu menghias lautan pasir. Cantik sekali.

Saya coba mengambil beberapa foto. Merasa agak kesulitan, kamera saya simpan, lalu kembali fokus menikmati perjalanan.
Wilayah ini dinamai Erg Chebbi, kumpulan bukit pasir yang menjadi gerbang dari gurun luas bernama Sahara. Sejatinya Erg Chebbi memang hanya pinggiran dari raksasa Sahara. Namun, buat saya cukup merepresentasikan suasana gurun yang sebenarnya, seperti yang pernah saya lihat dalam film Lawrence of Arabia.

Hari kian menggelincir ke penghujungnya.
Cahaya jingga matahari memaksimalkan saturasi warna gundukan pasir di sekeliling kami. Gunung-gunung pasir seolah menguarkan aura hangat yang tak menyengat. Sementara di kaki langit, bola surya yang bundar sempurna turun pelan-pelan.



Di sinilah untuk pertama kalinya saya menyaksikan mentari terbenam di tengah gurun. Golden hour. Dari atas dromedari, di Maroko, negeri yang terkenal dengan sebutan Maghribi, -tempat tenggelamnya matahari-, karena posisinya yang memang berada di pesisir paling barat Afrika.
Foto-foto Tak Sempurna
Kafilah kami tak kunjung berhenti. Sesekali terasa kaki-kaki dromedari terperosok di pasir, membuat dada sedikit berdesir.
Kesempatan untuk menggenggam kamera dengan tenang ternyata tak kunjung datang. Sementara, visual elok yang muncul di depan mata sayang sekali bila dilewatkan. Jika menunggu dromedari berhenti, pemandangan ini tentu sudah berlalu pergi.

Saya buka kembali ransel dengan sebelah tangan, kemudian menggapai kamera. Berlagak yakin pada kemampuan lengan kanan, saya coba mengambil foto dengan sebelah tangan. Sementara, tangan kiri dipaku di pegangan, memastikan saya tak hilang keseimbangan.
Memotret dari atas hewan yang berjalan bukan perkara mudah buat saya. Dalam kondisi normal saja hasil foto saya tak terlalu istimewa. Apalagi bila objeknya dibidik dengan tangan yang tak henti bergoyang, tentu saja hasilnya tak membuat saya senang.



Untungnya, setelah melanjutkan perjalanan setengah jam, kami sempat berhenti sejenak, sekitar sepuluh menit. Pemandu membolehkan kami turun, melihat-lihat, dan mengambil foto. Jeda sedikit itulah yang saya manfaatkan untuk mengambil beberapa gambar dengan posisi yang lebih stabil.
Selepas berjalan kembali, akhirnya tenda yang akan kami inapi mulai terlihat di kejauhan.

Kamera masih menggantung di leher saya. Saya coba lanjutkan memotret. Serampangan saja. Berharap jika cukup banyak gambar yang diambil, akan ada satu dua foto yang hasilnya cukup memuaskan.



Kami bermalam di tenda-tenda besar dari kain. Cukup tebal untuk menahan debu dan dingin, juga cukup kuat untuk menahan angin. Mengingat gurun adalah lokasi bersuhu ekstrim –siang hari sangat panas dan di malam hari bisa sangat dingin-, bagian dalam tenda diberi alas karpet. Ada juga bantal-bantal untuk mengganjal kepala saat tidur. Hanya saja tak ada selimut yang tersedia.
Senja sudah lewat, langit berganti pekat. Makanan lalu disiapkan, ditata sedemikian rupa mengelilingi api unggun. Seluruh rombongan berkumpul, menikmati santapan sambil berbincang beratap langit malam.

Tiba-tiba saja, satu ide melintas di kepala.
Bukankah gurun akan sangat kelam di kala malam? Lantas, bila sekelilingnya gelap gulita, bukankah langit akan benderang, lalu bintang-bintang kian terlihat cemerlang?
Saya belum pernah memotret langit berbintang sebelumnya. Saya ingat pernah membaca caranya sekelebatan. Ada pengaturan ISO, kecepatan shutter, dan onggokan istilah rumit lainnya.
Saya coba tanyai teman, tapi tak ada yang paham.
Mencari jawaban di internet tentu saja tak mungkin. Tak ada sinyal di tengah gurun yang jauh dari peradaban. Berpasrah pada ingatan kemudian jadi satu-satunya jalan.
Ditimpali derik api unggun, tangan saya mengutak-atik kamera, mencoba menyetel pengaturan. Lalu bermodal kenekadan, saya ajak dua orang teman. Pelan, kami melangkah dalam temaram, menjauh dari tenda. Mencoba peruntungan memotret langit malam.



Tak ada tripod. Tak juga ada aplikasi peta langit di telepon genggam yang bisa dijadikan patokan gugus bintang. Mengikuti intuisi, kamera saya dudukkan di pasir, lalu saya condongkan ke angkasa.
Beberapa kali saya mencoba. Berkali juga pengaturan kamera saya tukar tanpa tahu pasti perubahan apa yang akan terjadi. Random sekali.
Hasilnya?
Tentu saja ada banyak foto bintang yang cacat rupa.


Tapi kerja keras kadang-kadang mengundang keajaiban. Satu dua foto ternyata terlihat cukup lumayan, setidaknya untuk saya yang tak banyak paham soal teknik mengolah kamera.


Pagi harinya, selepas subuh, rombongan kami harus segera kembali ke tepi gurun.
Selesai bersiap dan mengemasi barang, saya langsung menaiki dromedari yang sudah menanti di depan tenda. Sesaat setelah saya duduki, kafilah kami kembali bergerak, menuju arah datangnya kami kemaren.

Rombongan bergerak dalam diam. Masih gelap, udara terasa sedikit dingin dan berangin. Hening sekali, hanya terdengar suara kaki dromedari yang menapak pasir.
Di kejauhan tiba-tiba saja tersaji komposisi yang menurut saya sempurna untuk sebuah foto: siluet kafilah yang berjajar di horizon gurun. Di belakangnya, fajar menyingsing pelan, menciptakan semburat terang di kaki langit. Di atasnya, bulan mulai tenggelam di ufuk.
Di tengah gelap, saya jangkau kamera dari dalam tas.
Kali ini ada kesalahan lain yang baru saya sadari belakangan. Tak saja tangan yang bergerak dan badan yang bergoyang, saya juga lupa memperhatikan setelan kamera. Jelas-jelas malamnya kamera saya pakai memotret bintang, pagi itu malah tak saya sadari: pengaturan kamera belum sempat saya ganti. Saya lupa mengembalikannya ke posisi semula. Subuh itu, pengaturan kamera untuk memotret bintang saya gunakan untuk mengabadikan pemandangan.

Meskipun sudah menduga, tetap saja fotonya semula membuat saya kecewa. Momen indah saat fajar itu hanya terekam samar. Bahkan bulan yang sedang tenggelam terlihat seperti tempelan noda kuning yang membuat kepala pening.



Penghujung Cerita Sahara
Begitulah.
Tualang saya ke Sahara berakhir, dikekalkan dalam barisan foto yang kadang-kadang membuat saya berpikir.
Tetapi sesal saya cepat berlalu. Hasil foto yang tidak sesuai harapan tadi pada akhirnya memberi saya pelajaran; bahwa yang terpenting adalah menjadi saksi atas suatu kejadian.
Sebuah foto bisa saja rusak, terhapus, hilang, atau tak sesuai keinginan. Namun, kenangan dan pengalaman saat menyaksikan, akan selamanya terpatri di kepala. Ia akan senantiasa mendekam di sana, tak lagi bisa kemana-mana.

Kecewa tentu saja beralasan. Tapi seperti biasa, satu lagi perjalanan berhasil mendewasakan.
Deretan foto tak prima di Sahara itu mengajarkan saya, bahwa dalam hidup, menuntut segalanya paripurna terkadang malah menggerogoti nutrisi jiwa.
Deretan foto itu juga menegaskan, bahwa hidup tak semata soal momen-momen sempurna yang memesona mata, terekam oleh kamera, lalu dipajang di dunia maya.
Hidup, lebih dari itu semua.
Selalu keren postingannya… kalau lihat dromedari dan sahara, saya jadi teringat kisah Santiago Sang Alkemis 😀
Saya juga pernah mengalami begitu, dan kesal sendiri, mas. Saat battery low atau hasil foto kurang memuaskan.
Kadang memang merusak suasana dan mood, sih. Sbg orang yang senang mengambil gambar, sudah nature kali yah pengennya punya kenangan dg jepretan bagus apalagi pas momen langka. Haha.
Moral value ini membuat saya sadar untuk tetap menikmati momen kalau jalan2–yg begitu sebentar– dan terlalu sayang kalau hanya untuk resah soal foto.
Asalkan enggak kehapus datanya saja sih, wih, itu pasti celaka bagi travel blogger /storyteller.
Ngomong-ngomong, menaiki dromedari di Maroko adalah bucketlist saya, mas. Teh-teh sana pasti nikmat ya.. saya dulu dibuat terkesan sama rasa Turkish Cay.
Semoga ada kesempatan ke Maroko. Amiin.
LikeLiked by 1 person
Makasih banyak udah menyempatkan membaca sampe tuntas, Mas Rifan. Kayanya agak sedikit kepanjangan untuk standar 1 postingan sih ya, tadinya mau dibagi 2 bagian tapi keburu males.. 🙂
Bener, Mas, mengingatkan padang pasir di Alkemis. Maroko sama Mesir posisinya memang relatif dekat ya. Untungnya saya ga ditipu pedagang unta dan ga ketemu tentara padang pasir juga. :))
Problema foto ilang/rusak/jelek ini sebenarnya emang agak ganggu kalau buat blogger/content creator yang berniat membagi pengalamannya begitu pulang dari tujuan itu ya. Rasanya kurang lengkap aja kalau cerita ga ditambahi ilustrasi foto yang memadai. Kalau tujuannya emang ga buat dishare belakangan, memang lebih mudah meikhlaskannya. Itu juga yang bikin saya sadar kalau memang setiap momen itu (selain difoto) juga sebaiknya dinikmati seoptimalnya.
Aamiin, semoga satu hari bisa kesampaian juga ya, Mas. Omong-omong, saya juga suka Teh Turki. Kerasa original aja gitu tehnya, ga dicampur macam-macam (beberapa ada yang nyampurin granola dari lemon atau apel juga sih ya). Dan orang Turki kalo ga salah itu konsumen teh no 1 terbanyak di dunia, disusul orang Maroko di posisi kedua. Dan gelas teh di Turki seingat saya juga kecil Wahahha..
LikeLike
Wah saya kebayang betapa frustrasinya pas sadar hasil jepretan selama perjalanan kebanyakan buram. Tapi kebayang juga sih susahnya mengambil foto, di atas unta, dan cahaya sudah mulai temaram. Saya cuma pernah naik unta satu kali di Yordania, enam jam di tengak terik gurun di sana, dan itu bener-bener bikin saya kapok. Ngomong-ngomong, saya baru ngeh kalau kutub utara dan selatan itu juga termasuk gurun. Terima kasih pencerahannya!
LikeLiked by 1 person
Awalnya lumayan kesel sih, Mas. Apalagi yang pas kelupaan balikin settingan kamera ke settingan awal. Tapi lama-lama ya gimana lagi, dijadiin pelajaran aja buat besok-besok kalau lagi traveling hehe.
Enam jam naik unta? Wuih kebayang sih, saya ini kemaren cuma sekitar 1,5 jam, itu udah berasa pusing dan pengen cepat-cepat turun, apalagi enak jam ya, cuaca panas pula. Dijamin belum pengen ngulangin lagi untuk sementara Hahaha..
Bener, Mas. Dua kutub bumi itu juga diitung sebagai Gurun. Selama ini kita memang lebih familiar dengan gambaran Gurun sebagai Gurun Pasir gitu, ternyata engga itu aja jenisnya.
Sama-sama, mas Bama. Makasi juga udah baca!
LikeLiked by 1 person
Walau sudah 7 tahun pake DSLR, aku masih merasa belum “kawin”* dengan kameraku sendiri haha. Bisa jadi terlalu malas utak-atik dan menjajal fitur-fiturnya. Risikonya, di saat diperlukan jadinya hasil foto tersebut kebanyakan “gagal”. Terutama kalau pakai di malam hari dan bergerak seperti naik unta kayak gini.
Walau dianggap gagal, tetap aja foto-fotonya bercerita bro. Jadi keinget perjalanan di gurun pasir Jaisalmer sana. Maroko ini jauh lebih cakep warnanya. Dan oh ya, sepakat soal menikmati matahari terbenam di padang pasir ternyata sama kecenya saat menikmati di pantai/laut.
*jika memakai istilah Mbak Pungky Prayitno 🙂
LikeLiked by 1 person
Istilahnya 7 tahun masih ‘pendekatan’ terus ya, Buahahha..
Tapi memang settingan kamera bisa jadi sedikit kendala kalau ujug-ujug ada momen menarik di depan mata ya. Kalau lama/ga familiar ngubah-ngubah settingnya, malah jadi makan waktu dan momennya keburu lewat. Saya sendiri sampai sekarang cuma make kamera mirrorless, Mas, karena emang belum banyak paham juga dengan segala settingan kamera :))
Gurun Jaisalmer yang di Thar ya berarti? Sepertinya warna oren pasirnya memang sedikit lebih kuat yang di Maroko ini, Mas. Bisa jadi karena waktu itu emang deket-deket matahari tenggelam, jadi orennya kebantu sama cahaya matahari juga.
LikeLiked by 1 person
Atau juga jenis pasirnya beda. “Adonan” Marokonya lebih kerasa. Hahaha.
LikeLiked by 1 person
Kebanyakan kunyit kayanya kalo di Maroko, jadinya oren haha..
LikeLike
Huahuahuahua, lanskap di sini memang menakjubkan, mas. Percayalah, tanpa butuh keahlian pun pada dasarnya di tempat ini pemandangannya memang syahdu. Yang penting tidak miring saja.
Foto-foto buram itu sebenarnya menarik sih, mas. Bahkan ada beberapa fotografer yang mereka sengaja foto buram atau terlalu terang. Kesannya malah asyik. Kalau tidak salah, aku pernah lihat di Instagram dengan tagar lucecurated, pokoknya tetap bagus 🙂
LikeLiked by 1 person
Ada benernya juga sih ya. Tapi tetap aja mata siwer gitu kalau ngeliat foto yang kabur gitu, semacam gatel gitu liatnya ahhaha.
Baru denger nih kalau ternyata justru ada aliran foto yang malah ngejar foto buram gitu. Menarik juga, nanti coba nyari ah bentukannya gimana itu hehe. Thx infonya, Mas Sitam!
LikeLike
Sama-sama mas.
Kata kawan yang suka motret, “tidak semua foto harus fokus, sesekali kita lihat yang blur. Karena di sana juga ada keindahan” hahahah
LikeLiked by 1 person
Setuju banget, Mas Sitam. Tinggal pintar-pintar kitanya aja mengubah sudut pandang hehe.
LikeLike
kalau lihat gurun sahara rasanya aku pengen guling-guling di atas pasirnya. selama ini hanya bisa guling-guling di atas gumuk pasir parangkusumo.
pengalaman luar biasa rasanya bisa merasakan tidur di bawah tenda khas yang ada di gurun. rasanya aku bisa membayangkan bagaimana orang-orang zaman dulu yang bepergian, melintasi gurun dan terpaksa harus tinggal semalam dengan membangn tenda.
soalan kamera emang sudah nggak asing lagi kalo cuma salah atau lupa setting ke semula. haha.
tapi keren banget tetep bisa ambil milkyway ya. aku belum pernah sama sekali buat foto milkyway.
LikeLiked by 1 person
Hahaha, panas mas kalo guling-guling di gurun. Sebenernya mirip-mirip sih, cuma yang di Sahara jauh lebih sedikit vegetasi/tumbuh-tumbuhan yang ada di gurunnya. Selain itu palingan bedanya cuma di warna pasir. Kalau di jogja kan agak kelabu/terang mirip pasir pantai, kalau di Sahara saya liatnya di bagian tengah gurun cenderung keoranyean warnanya.
Jaman sekarang aja naik onta di gurun bikin cape, gimana jaman dulu ya, hahaha.
Kalo soal milkyway asli keberuntungan sih Mas, cuma inget dikit urutan apa yang harus disetting, tapi angka settingannya (kaya ISO dll) itu nyoba-nyoba doang. Boleh tuh kapan-kapan nyoba foto langit berbintang di pantai-pantai atau malah di parangkusumo, Mas.
LikeLiked by 2 people
Aduh, liat foto naik unta di Sahara aku kebayang backsound instrumental film-film Hollywood yg musik Timur Tengah itu bang 😀
Biarpun fotonya ada yang kabur, tidak mengurangi keasyikan menikmati suasana liburan di padang pasir Sahara…
Saya penasaran selain teh, menu makan malam nginap di tenda apa aja?
LikeLiked by 1 person
Hahhaa bener, Mas. Cocok kayanya naik unta sambil denger musik timur tengah gitu ya, kerasa Arabiannya.
Waktu makan malam selain teh disajikan makanan khas Maroko, Mas. Ada beberapa pilihan: Tagine (dibaca Tajin, semacam gulai yang isinya daging domba, labu, dan sayur, dimasak slow cook gitu sampe lembut banget, pake bumbu-bumbu kari tapi ga terlalu pedes), terus ada juga Couscous (dibaca Kuskus, ini semacam roti gandum yang jadi teman makan tagine, rasanya kaya roti gandum tapi gampang berderai gitu teksturnya).
Untuk minumnya selain teh mint dan air putih juga ada jus jeruk dan air putih. Jus jeruk di Maroko emang salah satu kuliner utama, karena jusnya cukup terkenal, rasa asamnya cukup kuat tapi seger banget. Di pasar-pasar Maroko banyak banget yang jual jus jeruk segar.
LikeLiked by 1 person
Hm…jus jeruk, jadi ingat iklan Nutrisari yg jeruk Maroko 😀
kayaknya wajib coba deh kalo ke Maroko
sampe dibuatin iklan segala hehehe…
Keren bang masih mengingat semua detailnya
LikeLiked by 1 person
Wah, ada ya iklan nutri sari yang jeruk, Maroko? Saya baru tahu hahaha, berarti emang beneran ngetop ya jus jeruknya.
Kalau lagi berjalan, biasanya saya menyempatkan mencatat poin-poin kejadian yang dialami sama informasi-informasi menarik/trivia gitu di notes hape, Mas. Jadi ada dukungan informasi yang memadai kalau sewaktu-waktu berniat menuliskan cerita perjalanannya hehe.
LikeLiked by 1 person
Perjalanan yang keren dituturkan dengan keren dan gambar2 cantik, walaupun panjang tapi tetap asyik bacanya apalagi cerita2 di balik foto2 tersebut.
LikeLiked by 1 person
Wah, makasi banyak udah nyempatin baca sampe tuntas, Mba Sondang! Sukses selalu, Mba!
LikeLiked by 1 person
Mas Ikhwan, what an adventure. Marrakesh adalah salah satu kota yang saya penasaran untuk kunjungi. Pengen menjelajah pasarnya juga tersesat di tengah kotanya. Bahkan akan lebih sempurna kalau bisa menikmati perjalanan di Gurun Sahara. Gamabr-gambarnya keren euy, ayo semangat nabung buat bisa ke Maroko
LikeLiked by 1 person
Semoga suatu hari bisa ke sana juga ya, Mas Suaib! Terutama karena Maroko dan Indonesia sedikit punya keakraban tertentu ya, sampe-sampe ada nama Jalan Soekarno di Maroko.
Ngomong-ngomong pasar-pasar di Maroko memang luas dan bisa bikin tersesat hehe. Kadang malah ada warga lokal yang scam, nawarin jadi pemandu keliling Medina dan lorong-lorong pasar tanpa menyebutkan bahwa jasanya ga gratis, tau-tau nanti ditagih bayaran yang mahal. Kudu hati-hati dan waspada banget.
LikeLike
My God, Ikhwan.
What an amazing blog!
I love it. Definitely subscribe. Hahaha.
Sangat menginspirasi dan informatif.
Please keep writing ya.
LikeLiked by 1 person
Halo, Mba Wulan. Thank you for your kind words, I’m flattered. Doakan semoga bisa lebih rajin menulisnya ya, konsistensi selalu jadi masalah utama soalnya haha.. (baca: mager).
Makasih, Mba! 🙂
LikeLike
Mas Ikhwan sama seperti saya, jarang cek foto habis jepret hahahaha, makanya banyak hasil foto saya yang blur dan nggak layak tayang 😂 kalau sudah begitu saya bodo amat, hanya tayangkan sedikit foto yang bagus saja, yang terpenting saya sudah melihat aslinya 🙈 habis kalau kelamaan bersedih yang ada merusak mood, mana foto jelek akan tetap jelek dan nggak mendadak berubah dalam sekejap 🤪
Eniho, saya ketawa dong lihat gelas teh yang secimit ituuuh, mana kenyang coba *ketauan kalau minum teh harus segelas besar* 😂 saya waktu ke Maroko juga nggak ingat pernah dikasih teh apa nggak, tapi kalau iya, bisa dipastikan saya minta tambah hahahahahaha ~
By the way, menurut saya foto-foto mas Ikhwan meski blur tetap terlihat cantiiiiik 😍 entah kenapa suka banget sama foto blur saat fajar menyingsing di penghujung timur, dan sederet Dromedari 😆 hehe. Dan percayalah, sampai saat ini, saya nggak pernah berhasil foto milky way, even blur nggak bisa! Syedih hahahahaha so jealous sama milky way yang berhasil mas Ikhwan jepret. Ajari dong 😂
LikeLiked by 1 person
Foto jeleknya mah ditangisin juga ga bakalan berubah jadi bagus ya Mba. Setuju banget, jadi sedihnya bentar aja, hahaha..
Kayanya sih suguhan teh selalu tersedia di tempat-tempat makan di Maroko. Syukurlah kalau ternyata Mba Eno juga ngerasa porsi teh dengan gelas secimit itu ga cukup, *toss hahahha.. Gimana mau cukup ya dengan gelas segitu. Kita kalau ngeteh kan pake gelas gede gitu seringnya, belum lagi gulanya :)))
Syukurlah kalo masih ada bagus-bagusnya dikit walopun ngeblur ya, Mba. Btw, ternyata modal nekad dan coba-coba bisa kok Mba moto langit berbintang. Kalau lagi Nyepi mungkin bisa dicoba tuh Mba, Bali pasti gelap banget kan, dijamin bintang-bintang dan galaksinya keliatan lebih cerah. Keren banget pasti!
LikeLike
“Bahwa yang terpenting adalah menjadi saksi atas suatu kejadian.” Alih-alih hanya sebagai obat kecewa saja, aslinya kadang tetep nyesek juga wkwkw. Sama seperti hasil ngetrip seminggu di Jepang dan saya nggak sengaja format hardisk untuk instal Linux. Nangis sejadi-jadinya huwahahaha. Alhasil, kemarin saya ke Jepang lagi demi bisa motret lagi wkkwkw.
Terkadang saya juga malas lihat hasilnya, tetapi kadang entah kenapa saya feeling kalau jepretan tadi blur. Saya bisa bisa membayangkan betapa susahnya ngambil foto dengan naik unta hehehehe.
Duh jadi ngences motret hamparan gurun pasir, semoga suatu saat bisa menginjakkan kaki di Afrika.
LikeLiked by 1 person
BUAHAHAHAHHA bajigur.. Wakakakk.. Kan judulnya lagi mencoba menerima kenyataan ini, tapi emang sih nyesek juga wkwkk…
Tapi kalo fotonya masih ada tapi rada kabur ga bakalan senyesek kalo fotonya keformat semua sih. Itu mah langsung stres pasti haha.
Motret sambil naik unta emang bikin geter sih. Jadi susah banget dapat hasil yang oke. Kayanya ada beberapa kamera yang ada stabilizernya ya, mungkin bisa membantu. Kurang tau juga sih soalnya, kamera saya ga ada itunya haha.
Aamiin, Mas Alid. Semoga bisa samina mina waka waka e e juga di Afrika!
LikeLike
Bisa ngebayangin gimana kecewanya foto ngeblur karena salah setting. Dulu pertama kali road trip ke Jasper saat musim gugur, saya duduk di posisi shotgun dan motret terus sepanjang 5 jam perjalanan, ada 1000 foto lebih, kemudian gak sengaja keformat. Kecewanya sampai ke ubun2 hahaha.
Jujur salut sekali masih mau ngeshare foto2 yang meskipun nggak sempurna itu, tapi tetap bisa bikin saya ngebayangin kalau momen2 tersebut must’ve been so wonderful when they happened sampai lupa ganti setting kamera.
Btw, such an awesome blog. So happy to have discovered this hidden gem. Salam kenal & looking forward to reading more! 🙂
LikeLiked by 1 person
Halo Mba Nabila, ini Jasper maksudnya Jasper yang taman nasional di Kanada itu bukan ya? Wah.. cita-cita banget tuh pengen ke sana. Semoga suatu hari bisa nikmatin alam Kanada (dan Alaska) yang cakepnya beyond words itu hehe.
5 jam perjalanan dan 1000 foto. Kebayang sih gimana betenya itu begitu tahu fotonya keformat. Sama sekali belum sempat dibackup berarti Mba? Kalau udah keformat gitu direcover juga agak susah ya.
Kalau saya sih emang kesel juga awalnya begitu tahu foto-fotonya banyak yang ga fokus. Cuma setelah dipikir-pikir, ternyata foto-foto ancur itu malah jadi kenangan tersendiri (keselnya sih tetap, cuma berkurang dikitlah haha).
Thanks banget udah nyempatin baca, ya Mba. It is great to hear you feel that way!
LikeLike
Iya, Jasper national park. Aamiin, sama nih Alaska juga di bucket list saya tapi entah kapan bisa kesampeannya hahha.
Samsek belum dibackup, itu juga karena iseng utak-atik memory cardnya trus gak sengaja keapus semua huaha. Tapi untungnya foto2 pas di Jaspernya selamat sih, cuma foto2 di perjalanan itu aja yang ilang semua.
Iyaa keselnya mungkin karena jadi ngga bisa masuk portfolio pribadi kali ya, padahal momennya lagi keren dan langka. Kayaknya memang kadang2 harus belajar ikhlas dan nerima bahwa yang penting pengalaman dan feels pada saat lagi travellingnya itu, foto2 kerennya sebagai bonus aja hehe. (Kecuali yang emang profesinya travel photographer, yah itu mah beneran sedih gada obat sih.)
LikeLiked by 1 person
Ngeliat Karibou di Alaska kedengeran menarik ya. Terobsesi ke sana sejak jaman Palin nyalon jadi wapres haha.. Semoga one day sama-sama kesampaian ke sana yak.
Oo.. untungnya ada sebagian yang terselamatkan ya. Jadi masih adalah obat nyeseknya dikit. Emang sih nyesek karena kita jadi ga punya portolio pernah ke sana lagi, tapi kejadian yang gini-gini lumayan bikin skill buat belajar ikhlas jadi meningkat (itu juga karena bukan fotografer pro, kalo pro yang fotonya buat nyari duit mah yang ada stres beneran kalau ilang/rusak gitu. Kaya fotografer natgeo wild yang dulu kehilangan tas berisi kamera dan dokumentasi fotonya waktu (kalau ga salah) di bandara Bali).
LikeLike
kita punya masalah yang sama, mas suka buru-buru ambil gambar sampai lupa settingan terakhir yang dipakai itu apa. yang paling gampang emang settingan auto tinggal jepret2 kalau cahaya kurang dan kondisi nga stabil. tapi ttp keren bangat lihat foto barisan unta ditengah gurun pasir.
warna pasirnya orange trus langitnya biru, perpaduan yang kontras tapi keren yach. senang lihat hasil foto2 mas.
LikeLiked by 1 person
Setingan Automatic memang favorit kalau ga mau ketinggalan momen ya Mba. Biasanya kan ada momen cakep yang ujug-ujug muncul, kalau harus atur setting macem-macem dulu biasanya keburu lewat. Settingan auto kebetulan juga favorit saya hehe..
Makasih banyak, Mba Adelina, semoga foto-fotonya cukup bisa ngasi gambaran kondisi Sahara ya. Terima kasih udah berkunjung!
LikeLiked by 1 person
Foto blur terakhir itu keren banget menurut saya, Mas Ikhwan. Seperti intensional. 😀
Sepakat banget sama dua paragraf terakhir. Foto (digital pun) bisa hilang, tapi memori akan tetap bertahan. (Lagipula, tanpa foto pun cerita Mas Ikhwan yang ini sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan kejadian di Sahara.) Soal foto ini, awal 2010 dulu saya pernah naik motor sama kawan-kawan, berempat, dua motor, dari Jogja ke Lombok. Di satu hari, sepulang dari Trawangan, kamera saku Kodak saya hilang. Foto-foto hari-hari pertama di Lombok, Gili Trawangan, dan pantai-pantai di selatan hilang semua. Yang tersisa cuma foto sampai Senggigi, karena ditaruh di memori yang berbeda. Seorang kawan saya berusaha menghibur, dia nyanyi lagu New Found Glory yang liriknya “pictures fade away, but memory’s forever.” 😀
LikeLiked by 1 person
Ah, pas banget itu lagu memang buat gambarin poin tentang foto dan kenangan yang terekam di dalamnya. 🙂
Mungkin itu sebabnya ada baiknya kita meluangkan waktu untuk menikmati sekeliling saat berjalan ya, Mas. Jadi saat kenangan fisiknya hilang, kenangan di dalam kepala masih selalu ada, dan bisa sewaktu-waktu dipanggil kembali hehe.
LikeLike
sebuah pengalaman yang menakjubkan bisa menjelajah Sahara, gurun yang nampaknya terpatri di ingatan tiap-tiap orang yang pernah mengenyam pendidikan. Sahara sudah kita kenal sejak SD, walau hanya dari deskripsi, foto, dan peta dunia. Menyambanginya langsung pasti akan memberikan pengalaman yang wow. Sahara adalah salah satu tempat yang paling saya ingin kunjungi di dunia. Lanskapnya sangat berbeda dibandingkan apa yang kita pandang sehari-hari di Indonesia.
Foto-foto yang gagal memang menyesakkan, tapi beberapa jepretannya sudah bagus dan menunjukkan uniknya sahara. Memang kerap terjadi saat kita bertualang, tapi tentu kita berharap semoga tak terjadi lagi di perjalanan berikutnya..
untuk pemula, foto bintangnya sudah cukup bagus uda.. Saya sendiri malah belum pernah nyoba dan belum tahu caranya ahaha..
LikeLiked by 1 person
Bener banget, sejak SD kita udah denger soal Sahara. Kalau lagi bahas ekosistem gurun luas, selalu merujuknya ke Sahara.
Thanks, Kang. Kayanya nasib baik aja itu makanya sempat dapet beberapa foto bintangnya hehe.
Iya sih, meskipun sekarang fokus kalau lagi jalan ga melulu soal mengumpulkan dokumentasi, tapi kalo lagi pengen nulis kan mau ga mau butuh juga ya foto-foto pendukung. Biar tulisannya jadi lebih menarik. Hehe.
LikeLike