Indonesia Jawa Timur

Melawat Semayam Bung Besar di Kota Blitar

Setelah menempuh perjalanan sejauh 750 kilometer, kereta api yang membawa saya dari Jakarta akhirnya berhenti di Stasiun Blitar. Berdiri sejak tahun 1882, stasiun ini merupakan salah satu yang tertua di Jawa Timur. Wajar bila fisiknya mengalami perbaikan di sana-sini. Untungnya, renovasi yang dilakukan tersebut masih menyisakan desain kolonial yang cukup kental pada bagian peron dan gerbang utama.

Peron Stasiun Blitar, Jawa Timur

Sejujurnya saya tak menyangka Blitar sejauh itu dari Ibukota. Pikir saya, Blitar berada di Jawa Tengah. Pun, saya cukup pongah dan urung memastikan lagi di peta. Pandir sekali memang.

Dugaan saya soal cuaca juga sama melesetnya. Saya kira Blitar bisa jadi pilihan untuk menikmati suasana kota yang sejuk. Nyatanya, Blitar jelang akhir tahun justru bersuhu panas dengan terik matahari tiada henti.

Saat itu pukul 10 pagi. Terlalu cepat untuk makan siang, tapi sudah sangat terlambat untuk sarapan. Saya putuskan mencari sedikit cemilan guna mengganjal perut yang keroncongan.

Menjauh dari kawasan stasiun, saya temukan warung pinggir jalan yang menjual ragam penganan. Wangi pisang goreng hangat yang baru saja dimasak menggelitik hidung. Saya lalu memesan beberapa. Untuk melepas dahaga, segelas Es Degan saya pilih jadi pasangannya.

Pisang Goreng dan Es Degan

Saya habiskan gorengan tadi sambil memandangi lalu lintas. Sepertinya tak ada kemacetan di Blitar. Sepi-sepi saja. Mobil, motor, dan becak melaju santai tanpa berdesakan di jalanan yang cukup lebar.

Lalu Lintas Kota Blitar

Kali ini saya cukup arif dan menyempatkan mengecek peta digital di telepon genggam. Di peta lalu terlihat, Alun-alun Kota Blitar ternyata tidak terlalu jauh dari tempat saya beristirahat. Di sayap kiri alun-alun tersebut berdiri Mesjid Agung Kota Blitar. Satu ide lalu tercetus di kepala: “Sepertinya enak juga duduk santai di alun-alun sembari melihat situasi dan menunggu waktu zuhur tiba.”

Mesjid Agung Blitar
Mesjid Agung di Sayap Kiri Alun-alun

Saya bayar pesanan yang sudah tandas lalu bergegas mengikuti petunjuk arah. Tak lama, saya sampai di alun-alun berumput hijau yang kelilingnya ditumbuhi pepohonan palem, trembesi, dan beringin. Alun-alun ini dibelah oleh jalan kecil beraspal yang mengarah ke pendopo di sisi utara. Saya langkahkan kaki ke sana lalu duduk di ubinnya yang sejuk.

Suatu Siang di Alun-alun Blitar

Siang itu tak terlalu banyak orang. Hanya ada dua pekerja yang sedang merawat tumbuhan dan beberapa anak yang sibuk bermain sembari diawasi orang tua yang lesehan sambil berbincang.

Pekerja yang tengah Merawat Rumput
Bermain Sepatu Roda
Anak-anak Bermain Sepeda di Alun-alun
Angin Semilir Membuat Mata Mengantuk

Kombinasi angin sepoi dan perut yang penuh membuat mata sedikit mengantuk. Tapi saya tak boleh tertidur, siang ini saya sudah berencana berburu kuliner kebanggaan Blitar:  Nasi Pecel.

Dari sekian banyak yang berjualan, pilihan saya jatuh pada Nasi Pecel Mbok Bari. Warung ini ternyata sudah berdagang nasi pecel dan rawon di Blitar sejak tahun 1964. Menu andalannya tentu saja Sego Pecel; nasi putih dengan tambahan daun singkong rebus, kecambah, dan daun kemangi yang diguyur dengan sambal pecel, dilengkapi dengan tempe goreng serta peyek kacang. Sebagai lauk pendamping, tersedia juga telur mata sapi, ayam goreng, atau telur puyuh.

Warung Mbok Bari
Sego Pecel dengan Tempe dan Peyek

Sambal pecel khas Blitar ternyata berhasil menggoyang lidah saya. Campuran gurihnya kacang giling, manisnya gula jawa, wangi kencur, serta pedasnya rawit yang menggigit, menyatu di dalam mulut. Nikmat sekali.

Lebih membahagiakan lagi saat tahu bahwa sepiring nasi pecel portugal –porsi tukang gali– tadi dibandrol dengan harga tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Warung Nasi Pecel Mbok Bari ternyata sangat memanjakan perut sekaligus dompet pelanggannya.

Lepas siang, perut sudah pula kenyang. Saatnya melenggang.

Sambal Pecel Khas Blitar yang Menggugah Selera

Mengunjungi Blitar tentu saja tak lengkap tanpa melawat ke tempat bersemayamnya mendiang presiden pertama Indonesia, Ir. Sukarno. Meskipun Blitar seringkali disebut sebagai tempat kelahiran beliau, faktanya ternyata tidak demikian.

Sukarno dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 1901. Blitar pernah menjadi kota tempat orangtuanya yang berprofesi sebagai guru ditugaskan mengajar. Itulah sebabnya Kusno Sosrodiharjo –nama kecil beliau– sempat tinggal di sini meskipun tidak lama. Di akhir hayatnya beliau memang dikebumikan di kota ini. Mungkin itu pula lah yang kemudian membuat Blitar melabeli diri sebagai Bumi Sukarno.

Ada dua tempat di Blitar yang wajib disambangi bila ingin meneroka sejarah Sang Proklamator: Komplek Makam Bung Karno serta Rumah Masa Kecil Sukarno yang lebih dikenal dengan nama Istana Gebang.

Saya memilih berkunjung ke lokasi pertama terlebih dahulu. Tidak terlalu jauh, hanya sekitar 3,5 kilometer dari Stasiun Blitar. Dari warung Mbok Bari tadi malah lebih dekat, hanya berjarak 50 meter dan bisa dicapai dengan berjalan santai.

Dari kejauhan, Komplek Makam sudah terlihat ramai. Padahal saat itu bukan hari libur. Peziarah datang tak henti dengan motor, mobil, dan becak. Beberapa datang berombongan dengan bus ukuran sedang yang kaca depannya ditempeli nama daerah asal.

Gerbang Makam

Komplek Makam sendiri dibagi menjadi dua sektor. Berdiri megah di area depan adalah Perpustakaan dan Museum Bung Karno yang khusus berisi kumpulan buku, memorabilia, foto, dan dokumen sejarah hidup beliau. Dengar-dengar, koleksinya terlengkap se-Indonesia.

Pedagang Cenderamata Diserbu Pengunjung
Perpustakaan dan Museum di Area Depan

Sementara di area belakang, dengan gapura batu yang mengadopsi arsitektur candi, bersemayam jenazah Bung Besar –julukan Sukarno-, di bawah naungan cungkup kayu bangunan joglo khas Jawa yang diberi nama khusus: Astono Mulyo. Sangat layak menjadi tempat tidur panjang Sang Pejuang.

Astono Mulyo

Sebelum berziarah, pengunjung terlebih dahulu harus mencatatkan nama pada buku tamu yang tersedia. Untungnya sudah tak perlu lagi izin dari polisi atau petugas keamanan seperti yang dahulu pernah jadi protap resmi di sini. Untuk mencapai bangunan makam sendiri, pelayat cukup menapaki beberapa anak tangga yang membelah gapura utama tadi.

Pengunjung Sedang Mencatatkan Nama di Buku Tamu
Salah Satu Lukisan yang Jadi Dekorasi Ruangan

Banyak yang tak tahu, Bung Karno sebenarnya sama sekali tak pernah menyatakan ingin dikebumikan di Blitar.

Dalam buku biografi keluaran tahun 1965, ‘Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia‘ karangan Cindy Adams, ia ditulis pernah berujar:

“Saya ingin beristirahat di bawah pohon yang rindang, dikelilingi pemandangan yang indah, di sebelah sungai dengan air yang bening.

Saya ingin berbaring di antara perbukitan dan ketenangan. Hanya keindahan dari negara yang saya cintai dan kesederhanaan sebagaimana saya hadir.

Saya berharap rumah terakhir saya dingin, pegunungan, daerah Priangan yang subur di mana saya bertemu pertama kali dengan petani Marhaen.”

Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Sayangnya, wasiat itu tak terpenuhi.

Sewaktu ia meninggal pada 21 Juni 1970, Orde Baru yang saat itu berkuasa menganggap tak bijak bila penentuan lokasi makam diserahkan pada pihak keluarga. Lantas, atas pertimbangan kedekatan Sukarno dengan sang Ibu, pemerintah memutuskan mengebumikan beliau di Blitar, di samping makam ibunya.

Keputusan yang cukup kontroversial memang.

Sebagian sejarawan menilai kebijakan itu sarat nuansa politik. Bila Sukarno dimakamkan terlalu dekat ke Ibukota, dikhawatirkan akan memicu sentimen kecintaan, -bahkan pergerakan-, yang dapat menggoyahkan stabilitas saat itu.  Entahlah, politik selalu punya banyak sisi, sehingga hal-hal yang terkait dengannya tak cukup hanya disigi dari sudut pandang tunggal.

Para Peziarah

Lembabnya udara siang rupanya tak melemahkan semangat pelayat. Astono Mulyo tetap saja ramai. Banyak yang khusyu’ berdoa, sebagian berzikir, sementara yang lainnya memandangi kubur yang tepat berada di bawah cungkup.

Kiriman Doa untuk Bapak Bangsa

Ukiran di Balik Cungkup

Kubur itu dibiarkan tanpa nisan. Persis seperti kehendak Sukarno. Hanya ada satu batu pualam hitam tertonggok di sana. Lebarnya sekitar dua meter dengan bentuk membulat dan berat beberapa ton. Cukup besar.

Di bagian tengah batu itu terukir tulisan “Di sini dimakamkan Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia.” Di bawahnya tertera tanggal lahir dan wafat beliau.

Melawat Semayam Bung Besar
Tempat Istirahat Sang Penyambung Lidah Rakyat

Dahulu, ada dinding kaca yang menutupi keliling makam dari pengunjung. Sekarang, batas itu sudah tak ada. Presiden Gusdur meminta dinding itu dibongkar agar peziarah leluasa tak berjarak dengan pemimpinnya.

Beberapa saat saya habiskan di sana. Mengamati masyarakat yang datang dan berdoa, sambil sesekali mengabadikan momen dengan kamera; sesuatu yang di zaman Orde Baru dilarang keras di area ini.

Pengunjung yang Melepas Lelah di Sekitar Makam

Puas melawat, saya berjalan ke pintu keluar. Pengunjung tidak diperbolehkan keluar dari gerbang masuk tadi. Sudah disediakan jalur khusus melewati pasar rakyat yang disesaki pedagang cenderamata.

Pintu Keluar Khusus
Pasar Rakyat di Jalur Keluar Makam

Tujuan berikutnya tentu saja Istana Gebang.

Cukup dengan menumpang becak yang banyak tersedia di depan komplek makam, rumah masa kecil Bung Karno tersebut bisa dicapai.

Dulunya rumah tua ini dimiliki keluarga Bung Karno. Pada tahun 2010, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Blitar membelinya seharga 35 milyar, kemudian menjadikannya sebagai museum.

Tampak Depan Istana Gebang

Berbeda dengan Komplek Makam yang riuh, Istana Gebang siang itu sepi. Saya bisa bebas menikmati suasana dan menelusuri koleksi yang ada di sana sepuas hati.

Tak ada yang istimewa menurut saya. Rumah ini sama seperti rumah-rumah lainnya di berbagai kota di nusantara yang dijadikan museum karena pernah ditempati Bung Karno. Terdapat kamar yang pernah didiami beliau, koleksi foto lama, serta berbagai benda peninggalan lainnya.

Patung Sukarno
Kamar Tidur
Salah Satu Foto yang Sangat Ikonik
Ruang Tamu Istana Gebang
Taman di Tengah Rumah

Di bagian belakang rumah terdapat sumur berair jernih yang sering dinikmati pengunjung. Hanya saja saya lebih tertarik pada mobil Mercedez Tipe 190 tua yang terparkir di garasi. Mobil bersetir kanan dengan plakat bendera merah putih pada bagian depan serta tiang bendera kecil di bagian kiri ini disebut khusus dipesan Bung Karno untuk digunakan dalam kunjungannya ke Blitar dan daerah sekitar.

Mercedez 190
Salah Satu Meja Pertemuan di Istana Gebang

Mengunjungi dua tempat kaya sejarah Bung Karno ini semakin menguatkan keyakinan saya bahwa SejarahHistory– adalah His Story.” Ia akan ditulis oleh penguasa, di mana Sang Pemenang menjadi pengatur jalan cerita. Bila si pemenang berkehendak, akan ada banyak hal yang ditutup-tutupi, ragam cerita yang dibumbui, serta khalayak yang coba dikelabui.

Penerus Cita-cita Bangsa
Pemimpin di Tengah Rakyatnya

Sebagai pembaca sejarah, tak bijak bila hanya diam dan menelan bulat-bulat apa yang disodorkan ke depan mata. Menganalisa dan melihatnya dari banyak sudut berbeda akan menjadi kunci agar suatu sejarah dapat lebih utuh dipahami. Tentu saja sambil tetap berharap, fakta-fakta yang sempat disembunyikan pada akhirnya pelan-pelan akan terungkap.

Sudah mulai sore. Hanya satu dua pengunjung yang tersisa.

Cukup dulu untuk hari ini.

51 comments

    1. Mungkin karena belum banyak museum yang mampu mengemas koleksinya supaya menarik minat pengunjung ya. Biasanya museum di kita kan identik dengan bangunan tua kusam dengan koleksi barnag-barang tua yang berdebu dan ga terawat, jadinya ya kurang laku dijual. 🙂

      Like

  1. Dapet banget momen warga Blitar ngantuk 😀 Saya gak terlalu suka pecel, kacangnya suka bikin diare apalagi kalo pedes

    Sedemikian paranoidnya penguasa, tak cukup memindahkan raga Bung Karno jauh dari pusat kekuasaan, makamnya pun diberi sekat dan dilarang berfoto

    Sekarang udah lebih baik ya mas, mendekatkan bung dengan rakyat

    Gimana perasaan uda mengunjungi istana gebang?

    Liked by 1 person

    1. Iya nih kebetulan pas lagi liat-liat eh pas si bapaknya nguap, ngantuk bener kayanya dia hehe.

      Benar mas, rada paranoid ya kalau dipikir-pikir. Untungnya sekarang sekatnya sudah ga ada dan larangan mengambil foto juga sudah dicabut.

      Kalau kesan pas mengunjungi Istana Gebang biasa aja ga terlalu terkesan karenan memang mirip ya sama tipikal museum rumah-rumah Soekarno atau rumah Hatta yang ada di kota lain di Indonesia hehe.

      Liked by 1 person

  2. Oh gitu, soalnya waktu ke eks rumah bung Karno di Bengkulu saya merasa hawanya agak lain (dingin), apa uda pernah kesana?

    Btw, itu batu di makam Bung Karno mengkilat apa dari jenis marmer apa diberi apa yah…

    Liked by 1 person

    1. Kalau yang di Bengkulu belum pernah sih Mas, pernahnya dulu yang di Surabaya.

      Kalau di Blitar ini sih katanya ada satu lukisan Bung Karno di museumnya yang sering dibilang orang kaya berdegub beneran jantungnya, plus tatapan Soekarno di sana katanya kaya ngikutin mata si pengamat. Sayangnya waktu itu saya ga terlalu merhatiin sih :))

      Kalau yang di rumah di Bengkulu kerasa agak lainnya gimana mas?

      Kalau batunya hanya disebutkan dari bahan jenis pualam hitam, mas. Cukup besar sih, sekitar dua meteran ada kayanya diameternya. Sepertinya selain digosok juga diberi lapisan pernis sehingga jadi mengkilat banget seperti itu.

      Liked by 1 person

    1. Iya mas, marmer biasanya kayanya ga semengkilat itu ya. Dan batu itu ada yang bilang beratnya 15 ton sendiri :))

      Oh, bisa jadi sih ya, namanya rumah tua yang cuma diisi benda-benda peninggalan 😀

      Liked by 1 person

  3. Kalau bener 15 ton siapa yang masang disitu dong? Jin 😀

    Pada penasaran pengen ngerasain denyut jantung bung Karno kali yah, jadi pada pengen membuktikan kabar itu bener apa nggak hehe

    Benar, aura rumah tua sih hehe…

    Liked by 1 person

    1. Katanya sih gitu, batunya pernah digeser satu kali sedikit ke utara waktu ada kunjungan presiden SBY. Dan buat ngegesernya dipake dongkrak empat apa lima biji yang masing-masingnya berkekuatan 5 ton.

      Tapi ya seperti yang banyak orang tahu, presiden pertama kita ini juga dikenal “sakti” sih ya. Who knows..

      Liked by 1 person

  4. Betul mas, “harta karun presiden pertama” kemudian barang-barang peninggalan Bung Karno: lukisan, patung, tongkat komando yang dimistiskan oleh pendukung beliau menjadi cerita tak berkesudahan yang selalu saja membuat orang penasaran untuk membahasnya 🙂

    Liked by 1 person

    1. Memanh sosok sukarno cukup erat sih dengan hal-hal spiritual semacam itu. Tapi kalau yang pertama itu terbukti dan beneran bisa cair, wah bisa geger dunia persilatan ya 😀

      Liked by 1 person

  5. Sejarah dan peninggalan bung karno memang patut untuk dikenang, apalagi beliau merupakan pahlawan negara Indonesia sekaligus Presiden Pertama di Indonesia.. Semoga kita disini juga menjadi pahlawan yang bisa bermanfaat untuk orang orang disekitar kita ataupun orang jauh disana.. Tetap semngat dan sehat selalu

    Liked by 1 person

    1. Aamiin. Bener banget, Mas Andrie. Setidaknya sekarang penghormatan yang diberikan atas jasa-jasa beliau sudah jauh lebih baik.

      Terima kasih udah mampir dan baca-baca, Mas!

      Like

  6. kalo aku sendiri jujur kurang tertarik buat ke makam beliau. mungkin kalau ke sini, ya sebagai syarat saja.
    blitar sebetulnya sudah jadi inceranku, tapi kalau ke sini justru pengen ke tempat kayak alun-alun aja. menikmati menjadi warga blitar haha.

    kalo dari cerita di sini, blitar rasanya ayem, waktu bergerak lambat. orang-orang santai. cocok untuk buat yang cari keheningan. meski kata temenku yg orang blitar, sudah mulai riuh.

    Liked by 1 person

    1. Sebenernya sih selain makam ini masih ada tempat-tempat lain yang jadi tujuan wisatawan di Blitar sih Mas. Cuma mungkin yang paling rame di 2 tempat ini ya. Waktu ke Blitar kemaren saya juga ga berencana ke makam sebenernya, ujug-ujug aja waktu ngeh makam Bung Karno di Blitar jadinya main ke sana hehe.

      Tapi Blitar menurut saya memang sangat “santai” gitu sih, kaya kehidupan di sini berlangsung pelan dengan ritme yang ga buru-buru kaya di Jakarta. Cocok buat tipe jalan-jalan yang ga ngoyo gitu hehe.

      Liked by 1 person

  7. Aku pernah tanya kawan yang dari Blitar, kalau di sana enaknya ke mana. Dia malah bingung hehehheeh. Pikiranku ke bLitar malah ke perpustakaannya. Ada kawan kerja di sana dan tiap posting di media sosial sedang ada kunjungan tamu dari luar yang ingin sedikit tahu tentang Soekarno. Karena itu, aku jadi tertarik

    Liked by 1 person

    1. Kayanya ada beberapa tempat wisata alam sih Mas kalo di Blitar. Ada candi juga. Tapi jualan utamanya tetap wisata sejarah Bung Karno ini. Mungkin karena peminat wisata yang ini cukup banyak dan beragam (terbukti dari kata teman mas), jadinya marketing pariwisatanya juga lebih fokus ke situ ya.

      Like

            1. Iya, kan jarang-jarang juga tuh yang “berwisata” ke perpustakaan hehe. Sayangnya sampe sekarang ini pandemi masi belum jelas juga juntrungannya.. 😦

              Like

  8. Saya ke Blitar di bulan Maret 2017, dan saya suka sekali sama suasana kotanya. Tenang, dan gak terlalu panas. Mungkin karena pas saya di sana seringnya mendung, jadinya mataharinya gak terik. Sempet ke Candi Penataran juga kah? Cuma sekitar setengah jam perjalanan dari kota Blitar kalau nggak salah.

    Liked by 1 person

    1. Setuju, Mas Bama. Kotanya selow sekali, santaai gitu bawaannya. Dan sejujurnya saya agak kaget pas liat kotanya, resik ya. Bersih, ga banyak sampah, jalan-jalan juga relatif sangat bagus (saya perhatikan jalanan menuju makam Bung Karno aspalnya bagus sekali).

      Sempat mas, saya sempat main ke Candi Penatarannya juga. Dan (lagi-lagi) cukup kaget pas dikasi tahu kalau Candi Penataran itu salah satu komplek candi terluas di Jawa timur. Ga nyangka euy hehe.

      Kalau diliat-liat desain gapura makam Bung Karno sepertinya terinspirasi bentuk candi utama di komplek Penataran itu ya.

      Liked by 1 person

      1. Nah, iya betul. Salah satu kesan yang saya dapet ya itu, kotanya bersih dan cukup asri.

        Saya suka banget sama Candi Penataran. Reliefnya, arcanya, semuanya bagus dan megah. Seandainya saja bangunan utamanya masih berdiri (katanya itu dulu kemungkinan besar terbuat dari kayu, makanya sekarang sudah tidak berbekas, sudah lapuk sejak beratus-ratus tahun yang lalu).

        Iya betul. Saya perhatikan cukup banyak tempat di Jawa Timur yang gapuranya terinspirasi dari bentuk Candi Penataran.

        Liked by 1 person

        1. Sayang sekali ya bagian utamanya malah dibuat dari kayu (yang pastinya akan cepat habis dimakan waktu).

          Cuma saya agak bingung sih kalau soal candi, sebenernya candi-candi batu di negara kita kan ruangannya relatif sempit ya. Peruntukan ruangnya sepertinya hanya untuk patung dan arca yang disembah.

          Dengan ruang yang terbatas begitu, saya jadi membayangkan ritual massal keagamannya di jaman dulu bagaimana ya. Soalnya dulu mikir ruangan dalam candi itu cukup besar untuk banyak orang.

          Mas Bama pernah nulis soal Candi Penataran ga mas? Pengen baca kalau ada.

          Liked by 1 person

            1. Persis, Mas! 😂 Kepikiran kalo malem itu gelap-gelapan gimana wahahaha. Sama satu lagi, konsepsi saya tentang candi dan istana kerajaan jaman dulu agak nyampur. Saya pikir bangunan candi juga ada yang berfungsi kaya tempat tinggal raja-raja, semacam di film saur sepuh atau semacamnya gitu.

              Wah pernah nulis tentang Penataran ya ternyata. Meluncur ke tkp, mas!

              Like

  9. Kenikmatan membaca blog ini adalah tidak hanya pada tutur katanya yang mengalir enak, tapi juga suguhan foto-foto yang diambil dengan angle yang pas (sebuah keahlian yang tak kunjung bisa saya kuasai). Terima kasih telah mewartakan Blitar dengan baik, saya yang belum pernah ke sana jadi serasa sedang menikmati Blitar secara langsung.

    Liked by 1 person

    1. Wah terima kasih banyak, Mas Cipu. Semoga cukup bisa menggambarkan suasana Blitar, baik makam Bung Besar maupun kuliner nasi pecelnya ya! 😀

      Like

  10. Mohon maaf itu inline skate, bukan sepatu roda hwehehehe. Dan lagi kata siapa Kota Blitar itu adem 😀

    Beberapa kali saya ke Blitar, dan selalu mampir ngadem ke kawasan makam Bung Karno. Dahulu bahkan belum ada pedagang di pintu keluar. Sekarang pengunjung dipaksa keluar melewati labirin pedagang. Dahulu juga pernah ke Istana Gebang sebelum dijadikan museum, alhasil hanya bisa mengintip dari kaca di luar.

    Betewe cuma nasi pecel doang neh yang dimakan di Blitar? Gak nyobain es pleret khas Blitar? Gak ke Warung Mak Ti juga? Warung prasmanan murah meriah dengan masakan ndeso.

    Duh kok jadi kepengen ke Bumi Patria lagi yaaaaaak. Deket sih, cuma 3 jaman naik motor hwhehehe.

    Liked by 1 person

    1. BWUAHAHAHAHA… liat aja! Pengamatan yang tajam juga, Mas! :)) Saya malah lupa itu namanya inline skate, monmaap. Beda jumlah baris rodanya ya wakakkk…

      Dulu saya saking sotoyny mikir Blitar itu suasananya kaya kawasan puncak gitu, Mas. Udah mikir bakalan santai-santai adem gitu. Hehe.

      Soal pedagang, sepertinya memang dikondisikan begitu ya. Pengunjung “dipaksa” terpapar dengan pasar siapa tau ada yang berminat buat beli suvenir di sana mungkin ya. Tapi jadinya memang seperti labirin sih, mana lumayan panjang ya.

      Kalau Gebang dulu mungkin karena statusnya rumah orang, Mas. Kalo main masuk yang ada digebukin sama yang punya wakakak. Syukur sih sekarang dijadiin museum beneran.

      Untuk kuliner jelas ngga nyoba Pecel doang dong. Sempet nyobain es pleret juga sama beberapa macam makanan lain rekomendasi gugel. Saya lupa sih sempat ke Mak Ti apa ga, yang jelas di Blitar saya nemu menu sate siput gitu apa ya hehe. Unik juga.

      Cuma tiga jam? Gaskeun!!!

      Like

  11. Hi mas Ikhwan 😁

    Seru baca cerita perjalanannya, tau-tau kelar 😂 hahahaha. Saya pribadi rasa-rasanya belum pernah berkunjung ke makam Bung Karno, dan seingat saya belum pernah juga ke Blitar, jadi nggak bisa membayangkan seperti apa kotanya 🤭 however berkat foto-foto yang mas bagikan, saya bisa dapat sedikit gambaran mengenai kota Blitar dan orang-orang di dalamnya 😍

    Dan bicara soal museum, sebenarnya saya paling takut masuk ke museum dalam bangunan rumah tua. Entah kenapa hawanya selalu nggak enak 😂 dulu waktu jaman sekolah, ada studi tour ke museum Fatahillah, rasanya kebayang terus sampai tidur malam. Since then jadi semacam maju mundur kalau mau masuk museum-museum dalam bangunan tua di Indonesia 🙈

    Ps: saya suka banget makan pecel, tapi belum pernah makan pecel Blitar, taunya pecel Madiun soalnya, mas 😂

    Liked by 1 person

    1. Ayo Mba En, kapan-kapan cobain ke Blitar hehe. Ga terlalu jauh dari Bali kan soalnya 😀

      Kalau soal museum memang masalahnya sepertinya sama di banyak museum di negara kita ya. Kesannya museum itu selalu jadi tempat lusuh dan berdebu. Belum lagi koleksinya yang barang-barang tua kurang terawat. Meskipun sekarang udah mulai ada beberapa museum yang menyenangkan buat dikunjungi, seperti misalnya Museum Macan, museum keramik, atau museum Bank Indonesia di Jakarta.

      Wah kalau Fatahillah di halaman depannya dulu memang tempat buat mengeksekusi kriminal kan, baik digantung maupun di tembak. Sementara ruang bawah tanahnya juga banyak tahanan yang meninggal. Jadi memang agak-agak sih hehe.

      Atau, jangan-jangan waktu ke sana Mba eno abis ngeliatin lukisan Noni belanda pake baju merah ya di salah satu ruangannya? Pernah waktu ke sana petugasnya bilang kalau Noni yang satu itu suka ngikutin pengunjung kadang-kadang. Jangan-jangan hahhaa…

      Like

  12. Habis baca artikelnya, mau komen malah keasikan baca komen2nya dan ternyata RAME BANGEEETTT,

    Baca paragraf2 awal kok aku jadi mikir apakah di Jawa Timur banyak masjid dan alun-alun yang berdekatan ya?
    Dari yang pernah ku datangi seperti Jombang, Malang, Lumajang, Tuban, dan sekarang di sini Blitar, masjidnya depan alun alun semua.

    Tapi ternyata Solo dan Jogja juga ada masjidnya dekat alun alun. Apa memang keduanya harus selalu berdampingan?

    *maaf pertanyaannya malah gak nyambung

    Liked by 1 person

    1. Wuih ada Mba Aqied! *bentangin karpet merah. Hahaha..

      Sependek pengetahuan saya, bukan di Jawa Timur aja yang lokasi alun-alun dan mesjid utamanya berdekatan, Mba. Awalnya saya kira fenomena ini cuma terjadi di kota-kota besar macam Jogja dan Bandung. Ternyata engga. Seperti yang Mba Aqied bilang, hal yang sama bisa dijumpai di banyak kota di Jawa: Malang, Lumajang, Tuban, Blitar, dll.

      Terakhir waktu main ke Kebumen, saya juga menemukan bahwa mesjidnya berada di sayap kiri alun-alun kotanya juga. Persis seperti di Blitar ini.

      Saya pernah baca, hal ini sebenarnya karena dalam konsep tata kota budaya Jawa ada prinsip yang namanya Catur Gatra, empat baris apa empat pilar gitu makna harfiahnya *CMIIW.

      Prinsip Catur Gatra ini berkembang saat Islam masuk ke Jawa. Dalam prinsip ini, pembangunan pusat kota harus selalu didasari atas empat aspek kehidupan: religius (disimbolkan dengan mesjid), politik (disimbolkan dengan bangunan pusat kekuasaan/pemerintahan semacam balaikota atau istana), sosial budaya (disimbolkan dengan alun-alun yang jadi pusat interaksi masyarakat), serta ekonomi (disimbolkan dengan pasar yang jadi sentra aktivitas perdagangan).

      Karena pembangunan pusat kota di Jawa hampir selalu berpegang pada prinsip itu, makanya tipikal pusat kota di Jawa menjadi mirip, selalu ada 4 objek tadi.

      Khusus untuk mesjid biasanya dibangun lebih mepet ke alun-alun karena diasumsikan alun-alun bisa jadi area penampung limpahan jemaah sholat kalau mesjidnya penuh (misalnya saat hari besar Islam seperti Lebaran).

      Konsep seperti ini sebenarnya tidak hanya ada di Jawa. Sepertinya di Eropa juga begitu. Kalau saya ga salah, tipikal city/town sampai desa di Eropa selalu punya kemiripan di bagian City Centernya: Selalu ada (1) Plaza terbuka/alun-alun/lapangan, (2) Town/City Hall, (3) Gereja (biasanya berdesain gotik) dengan menara menjulang, lalu (4) Stasiun kereta/bus.

      Empat aspek ini biasanya juga selalu berdekatan dibangunnya. Tapi saya tidak tahu apakah di Eropa juga ada padanan “Catur Gatra” untuk fenomena tata kota ini.

      Begitu sih setahu saya, Mba. Kalau menurut Mba Aqied gimana kira-kira?

      *lah jadi kaya diskusi akademik di kampus hahaha

      Liked by 1 person

  13. saya suka sejarah, tapi sejarah zaman kerajaan, mundur sampai zaman dinosaurus haha..

    saya baru tahu kalau Bung Karno ternyata sebenarnya ingin dimakamkan di bumi yang diciptakan Tuhan ketika Ia sedang tersenyum, bumi pasundan, tanah leluhurku 😀 … Pada akhirnya, politik lah yg menentukan tempat peristirahatan terakhir sang Founding Father..

    Liked by 1 person

    1. Wuih orang sunda ternyata ya, Mas? Ganti manggil Kang kalo gitu. Hahaha..

      Komennya mengingatkan pada quote Pidi Baiq di dinding gapura alun-alun Bandung ya. Jadi laper kalo ingat Bandung, bawaannya kulineran terus kalo di Bandung :))

      Bener banget sih, ada banyak hal yang dipengaruhi oleh kepentingan politik. Bahkan pada hal-hal seperti penentuan makam, yang mungkin sepatutnya terlepas dari urusan politik.

      Ngomong-ngomong kenapa di Indonesia ga ada dinosaurus ya :/

      Like

  14. Saya jadi ngeh bahwa Bung Besar tidak dilahirkan di Blitar waktu salah seorang guru bahasa Inggris kami menipu kami sekelas. Beliau bikin sebuah kalimat tentang Sukarno di papan tulis dan meminta kami mencari sesuatu yang keliru dari kalimat itu. Sebagian besar mencari kesalahan gramatikal, ternyata tidak ada. Semua bilang kalimat itu benar. Ternyata yang keliru anak kalimatnya yang bilang bahwa Sukarno dilahirkan di Blitar, 😀

    Tulisan soal Blitar ini elok sekali, Mas Ikhwan. Dari awal saya sudah tenggelam dalam ceritanya. Tahu-tahu sudah habis. 😀 Paragraf penutupnya elok sekali. Barangkali memang kita yang mesti aktif mencari tahu soal sejarah lewat sumber-sumber yang menyempil di pustaka pengetahuan. Jika mengerti sedikit lebih banyak ketimbang narasi besar, barangkali kita bisa kritis sedikit menyikapi keadaan. 🙂 Semoga. 🙂

    Liked by 1 person

    1. Guru bahasa inggrisnya provikatif banget ya, dalam artian positif. Memicu muridnya berpikir kritis hehe. Tapi memang sudah keburu ngetop sih informasi kalau Bung Karno lahir di Blitar, jadinya mayoritas orang beranggapan begitu.

      Saya setuju banget, cara kita memandang sejarah memang sebaiknya diperbaiki. Sejarah bukan fakta yang pasti tak terbantah, seiring berjalannya waktu, bisa jadi ada versi-versi lain dari sejarah yang akhirnya terbuka. Berpikir kritis memang jadi salah satu kuncinya hehe.

      Like

  15. Sejatinya saya suka sekali dengan Museum. Tapi memang di Indonesia, museum masih menjadi tempat yang asing dan tidak menarik kayaknya. Sudah lama ingin berkunjung ke makam Bung Besar. Semoga saya bisa ke sana dalam beberapa bulan ke depan.

    Gagasan Bung Besar banyak saya temukan di dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Sayangnya, buku yang kini harganya sampai jutaan itu, sekarang entah di mana.

    Belum afdol rasanya jika membaca gagasan besar, tanpa mengunjungi tempat persemayaman terakhir si pencipta gagasan kebangsaan Indonesia.

    Salam…

    Liked by 1 person

    1. Bisa jadi karena kemasan dan tampilan museum belum banyak yang kekinian dan bisa menyasar pangsa pasar yang lebih besar, Mas. Contoh sederhana, informasi yang ditampilkan untuk benda-bedan koleksi biasanya masih disajikan sangat konvensional. Kadang sampai berdebu dan kotor, jadinya yang liat juga kurang tertarik.

      Di bawah bendera revolusi kayanya udah ga nemu buku versi cetaknya ya Mas, dulu saya baca cuma versi pdfnya hehe.

      Bulan Agustus kayanya cocok tuh Mas buat ke Makam Bung Besar. Nuansa kemerdekaan pasti sangat semarak di sekitar makam proklamator. Semoga berkesempatan!

      Like

  16. Kebetulan tahun kemarin di sela-sela berkunjung ke rumah teman di sekitar daerah keidean buat main ke Makam Soekarno. sayangnya saya nggak sempat ambil foto-foto banyak dan menyelami bnyk hal selama di sana, antara terlalu terpana dan kerepotan nemenin anak yang inginnya kemana-mana.

    Pertama, melihat berbagai poto-poto jaman kejayaannya Soekarno. Memang sudah dipastikan di sana pastikan cukup banyak foto-foto yang menceritakan tentang perjuangan soekarno.

    Kedua, saat di makam ini saya cukup terkejut. Saya sampai coba mengingat-ingat makam pahlawan nasional yang pernah saya kunjungi, tidak seramai ini, kecuali makam Gus Dur yang memang selain pahlawan juga kyai, jadi wajar kalau menemukan ritual tahlilan di sekitar makam tersebut. Tapi ini unik juga, berbagai cara utk berterimakasih dan bangga tersiratkan oleh berbagai jenis manusia di sekitar makam tersebut. Saya senang, karena melihat keberagaman cara utk menghargai di sana. Saya baru tau dari mas ikhwan ini kalo ternyata Gus Dur membuka makam tersebut agar posisi pemimpin denga rakyat tidak terlalu jauh. Senang dengarnya.

    Ketiga, jalan keluar dari makam tersebut ini unik meski terasa agak capek juga. Kita akan dituntun dengan berbagai macam hasil karya kerajinan warga lokal yang hampir serupa jualannya, tapi tempatnya agak panas dan jalanannya ternyata panjang jugaaa, huhu

    Well, ceritanya Mas Ikhwan ini detail sekali. Suka bacanya. Thanks for sharing, Mas

    Liked by 1 person

    1. Bener banget Mba, saya awalnya juga heran kok bisa rame banget yang berkunjung ke makam ini. Mungkin karena kekuatan figur Bung Karno ya. Sama seperti Gusdur, beliau punya kharisma yang sangat kuat sehingga banyak sekali yang simpatik dengan beliau dan ingin mengenang perjuangannya dengan berziarah ke makam mereka.

      Dulu memang pernah ada dinding kaca gitu Mba di sekeliling makam. Hebatnya Gusdur, beliau punya pemikiran kalau pemimpin sama rakyat semestinya tak berbatasan. Makanya waktu jadi presiden beliau memerintahkan agar dinding kaca itu dibongkar. Menurut saya itu keputusan yang tepat.

      Saya setuju soal jalan keluar yang muter-muter dan panjang. Rada panas dan pengap juga ya. Kayanya karena itu semacam labirin tertutup (atapnya terpal terakhir saya ke sana) jadinya sirkulasi udara ga lancar. Bawaannya malah jadi pengen cepat-cepat keluar. Ini PR sih buat pengelolanya.

      Terima kasih juga udah nyempetin baca, Mba Ghina. 🙂

      Like

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: