Boabdil menarik kekang kudanya, perlahan berhenti di jalanan tanah menanjak yang meretas bukit hijau kecil di perbatasan Granada. Kakinya melangkahi pelana kemudian menapak di tanah yang kering. Tangannya lalu menambatkan tali kuda ke satu pohon di tepian jalan.
Lakunya diikuti oleh sang Ibu, yang setia mendampingi dalam perjalanan mereka menuju Fez, Maroko, bersama keluarga, pengawal, dan pelayan yang setia.
Pria 32 tahun itu tercenung, menurunkan kain yang menutupi kepalanya, lalu memandang lepas ke kaki bukit. Ditatapnya padang rumput hijau yang membentang berlatar rumah-rumah penduduk yang sebagian luluh lantak karena pertempuran.
Matanya menyapu teduh hijau yang menyatu dengan lazuardi di horizon, sebelum akhirnya pandangan itu tertumbuk pada bayang samar bangunan merah di kejauhan.
Alhambra.

Benteng sekaligus istana, di mana ia pernah tinggal dan memimpin Granada satu dekade lamanya.
Boabdil tersengal.
Memandangi istana merah yang berkilau tertimpa matahari mengoyak lagi luka menganga dalam jiwanya. Tak pernah dalam hidupnya ia merasa segagal itu: mendapati diri menjadi orang yang bertanggung jawab atas runtuhnya peradaban yang dulu dengan susah payah dipertahankan Ayahnya, Abu Hasan Al Ali.
Kesedihan memaksanya berlutut di tepi bukit, menumpu badan pada tangan, lalu menghela nafas panjang. Tangannya meremas tanah menahan geram, dan tanpa disadari, matanya berlinang.
Beban berat menyesak di benak Bombadil. Ia, adalah mata rantai terlemah, yang menjadi musabab putusnya rantai kuat dinasti Muslim Moor yang telah memimpin Andalusia selama 700 tahun tanpa terjamah.
Dirinya, Boabdil -atau Muhammad XII-, Emir Granada terakhir, terpaksa menyerahkan kunci Alhambra sebagai benteng terakhir kekuasaan bangsa Moor di Spanyol pada Ratu Isabella dan Raja Ferdinand dari Castile, sekaligus menandai terhapusnya kekuasaan Islam di Andalusia.

Boabdil terdiam cukup lama.
Aisha binti Muhammad Ibnu Ahmar, Ibunya, kemudian mendekat menghampiri sang putra yang masih terisak. Tangannya perlahan terjulur lalu berdiam di bahu Boabdil.
“Anakku,” ujarnya pelan.
“Sudahlah. Tak perlu kau tangisi layaknya perempuan, apa yang tidak bisa kau pertahankan sebagai seorang laki-laki.”
Hening.
Hanya terdengar suara burung berkicau pelan.
Hari itu, suatu siang di tahun 1492, Andalusia resmi tinggal nama.
Kata-kata Aisha tadi bergaung hingga ratusan tahun berikutnya. Sementara, jalan tanah di mana Boabdil berhenti dan meratapi nasibnya belakangan dikenal sebagai Puerto del Suspiro del Moro, atau Pass of the Moor’s Sigh – Lintas Kesah Bangsa Moor.

ANDALUSIA
Lima abad berlalu.
Saya berjalan pelan di kota yang sama, menyusuri wilayah yang pernah menjadi saksi kejayaan peradaban Islam di Eropa.

Lima ratus tahun sebelumnya, Andalusia, yang wilayahnya membentang di Semenanjung Iberia, meliputi hampir seluruh Spanyol dan Portugal hingga perbatasan Perancis di utara, berkembang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan budaya.
Saat Eropa terpuruk dalam wabah, kekerasan, dan buta aksara, kota-kota di Andalusia seperti Granada dan Cordoba, disesaki ribuan cendikia serta dipenuhi puluhan pustaka.
Ragam konsep dan teori, entah trigonometri atau astronomi, lahir dari diskusi-diskusi cerdas di sela tumpukan buku dan manuskrip di lorong-lorong kota.
Jalanan kota dilapisi batu dengan penerangan dan sanitasi di kedua sisinya. Sementara, empat kepercayaan utama, Islam, Kristen, Yahudi, dan Paganisme, hidup berdampingan dalam harmoni yang di masa sekarang mungkin terlalu indah untuk jadi nyata.
Mereka yang bukan muslim saat itu diberi status Ahluddhimma -Orang-orang dalam perlindungan-, sementara yang menganut Paganisme diberi status Majus. Keduanya diberi hak sama dengan bangsa Moor yang berkuasa.
Saya mengingat semua itu dalam perjalanan menuju Alhambra. Mencoba memanggil kembali memori lama dari buku-buku seputar Andalusia yang pernah saya baca.
Siang itu terik.
Cahaya matahari Spanyol di musim panas ternyata tetap menggigit kulit saya yang jelas-jelas terbiasa dengan garangnya surya khatulistiwa. Padahal baru lima menit saya turun dari bus yang membawa ke perhentian terdekat dari Alhambra.


Ramai.
Ada banyak pengunjung mancanegara yang berjubel, sepertinya punya maksud yang sama: menjelajah dan menikmati keagungan Alhambra. Keramaian itu meyakinkan saya bahwa Alhambra memang memegang predikat sebagai lokasi wisata yang paling banyak dikunjungi di Spanyol.
Tak lama berjalan, saya sudah berada tepat di depan gerbang masuk komplek istana merah tersebut. Tulisan Alhambra dalam aksara latin dan arab berwarna kelabu terpasang di dindingnya, separuh tertutup oleh tanaman rambat.

Tak jauh dari sana, terdapat beberapa counter tiket yang juga sudah penuh pengunjung. Ada beberapa jenis tiket yang tersedia: kunjungan siang, kunjungan malam, akses taman saja, atau akses istana saja.
Beruntung saya sebelumnya sudah memesan tiket secara online sehingga saya cukup menukarkan bukti pembelian di counter khusus yang tersedia. Tak berapa lama, petugas menjulurkan tiket beserta brosur yang dilengkapi peta kawasan Alhambra kepada saya.

ISTANA MERAH BERNAMA ALHAMBRA
Alhambra merupakan satu kawasan benteng dan istana, dengan luas total mencapai 11 hektar. Berdiri di area perbukitan, situs ini terdiri atas 30 menara, beberapa taman, serta puluhan bangunan. Keseluruhan area dikelilingi tembok dengan panjang dinding bangunan mencapai lebih dari 1000 meter.

Saya lirik peta di tangan.
Terdapat dua zona utama di Alhambra: Komplek istana utama di sisi kiri gerbang masuk, serta taman peristirahatan bernama Generalife di sisi kanan.
Butuh sekitar 20 menit berjalan kaki dari gerbang untuk mencapai Generalife. Dari sana, pengunjung harus kembali ke gerbang masuk tadi untuk kemudian berjalan kaki 30 menit ke arah komplek istana utama.

Bangunan-bangunan di Alhambra didirikan sejak abad ke sembilan dengan gaya arsitektur islam yang kental, diimbuhi ragam pengaruh budaya Moor, Turki, Afrika, Mediterania, Arab, dan Persia.
Desain, mozaik, dan detail yang memikat mata terpasang sempurna pada bangunan-bangunan berwarna coklat kemerahan. Awalnya bangunan di sini dicat putih mengkilat. Namun, seiring usia, warna putih tersebut pudar dan digantikan warna asli bata. Dari warna kemerahan tembok-tembok itulah Alhambra memperoleh namanya.
Alhambra dalam Bahasa Arab memang bermakna “merah”.
GENERALIFE
Lokasi pertama yang saya sambangi adalah Generalife, taman peristirahatan yang dibangun berundak dan dilengkapi dengan sebuah istana khusus sebagai tempat beristirahat para penguasa.
Nama Generalife sendiri disebut berakar dari Bahasa Arab yang bermakna Kebun Para Arsitek.
“Ini adalah Dorne di dunia nyata!”, gumam saya, sesaat setelah memasuki Generalife.
Dorne yang saya maksud tentu saja nama sebuah kerajaan tropis fiktif dalam kisah Game of Thrones karangan George RR Martin, yang diceritakan penuh dengan kebun-kebun bunga dan bermandi mentari sepanjang tahun.
Pohon-pohon elm rimbun ditanam sedemikian rupa di sisi jalan, diselingi rumpun bugenvil, bunga mawar, dan pohon-pohon jeruk. Meskipun saat itu terik, Generalife anehnya terasa semilir dan teduh.
Letih sama sekali tidak terasa saat saya melangkah, meskipun jalanan di taman ini cenderung mendaki.
Dari taman ini, komplek utama Alhambra dapat terlihat dari kejauhan. Luas dan memesona.

Gemericik air terdengar sepanjang perjalanan. Saya perhatikan ternyata terdapat saluran dari batu yang tak henti mengalirkan air. Di beberapa titik terdapat air mancur yang memancar dari kolam kecil yang terbuat dari batu berukir.


Di bagian puncak bukit Generalife berdiri sebuah istana bernama Palacio de Generalife.
Dinding istana ini berplester putih dengan sebuah taman dan kolam di bagian tengah. Tamannya sendiri tidak terlalu luas, namun cukup sejuk dengan air mancur berjejer bersisian di tepian kolam menyemburkan air tanpa henti.
Satu hal menyita perhatian saya seketika.
Detail ukiran pada dinding, pilar, dan langit-langit istana.
Ragam ukiran kaligrafi dilingkupi bunga-bunga tercetak sempurna di sana.
Saya tak sanggup membayangkan kerja keras dan dedikasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan ornamen sedetail dan sekompleks itu, bahkan dengan standar teknologi saat ini.



Ingin rasanya berleyeh-leyeh menikmati sepoi angin sambil menatap rumah-rumah penduduk dari selasar Generalife. Namun, masih banyak area Alhambra yang harus dijelajahi.
Saya putuskan kembali melangkahkan kaki.
MEDINA
Bagian selanjutnya dari Alhambra adalah Medina. Nyaris serupa dengan Generalife, Medina merupakan taman yang dibangun khusus untuk menghubungkan kawasan Generalife dengan komplek utama.


Saya tak paham jenis pohon apa yang tumbuh di kiri kanan jalur Medina yang di-paving rapi. Tak ada informasinya di brosur yang saya punya.
Yang jelas pepohonan menyerupai bonsai tersebut tumbuh tinggi dan dipotong rata di setiap sisi. Akibatnya, muncul ilusi dinding hijau tanaman yang berdiri kokoh di sepanjang jalanan Medina menuju istana.
Kawasan Medina ternyata membentang cukup panjang. Di beberapa tempat terdapat sisa-sisa pondasi bangunan yang sudah roboh. Puluhan bangunan lainnya masih tegap berdiri. Bangunan-bangunan ini dulunya merupakan tempat berdiam penjaga, prajurit dan para pelayan yang bekerja di Alhambra.

Di ujung kawasan Medina terdapat toko-toko cenderamata, rumah-rumah, serta bangunan umum lainnya.


Area Medina berakhir di bangunan kotak bernama Palacio De Carlos V.
PALACIO DE CARLOS V
Berbeda dengan bangunan-bangunan lain di Alhambra, Palacio de Carlos V menganut langgam arsitektur khas Romawi.
Wajar, karena bangunan ini tidak ada dalam desain awal saat Alhambra dibangun oleh dinasti Moor. Ia dibangun belakangan, pada tahun 1527, atas perintah Kaisar Roma, Charles V, yang menginginkan kediaman pribadi di dalam komplek Alhambra pada masa kekuasaan monarki katolik di Granada.

Dari luar, Palacio de Carlos V hanya terlihat seperti bangunan kotak dengan detail sisi luar yang unik. Fasadnya terlihat seperti tumpukan bata raksasa dengan jendela-jendela bulat dan kotak berkaca gelap.

Ternyata pada bagian tengah bangunan ini terdapat plaza melingkar, menyerupai plaza-plaza di Roma atau Vatican. Sayangnya saya tidak berkesempatan memasuki area plaza ini karena saat saya datang Palacio de Carlos V sedang ditutup untuk pengunjung.

ALCAZABA
Perjalanan menelusuri kejayaan Alhambra saya teruskan ke bagian tertua dari seluruh kawasan ini. Alcazaba namanya.
Area ini pada suatu masa pernah menjadi tempat tinggal Boadbdil, sang penguasa. Namun, saat bangunan utama istana selesai didirikan, Alcazaba sepenuhnya difungsikan sebagai benteng pertahanan melawan serangan musuh.

Terdapat beberapa menara di Alcazaba. Seluruhnya dapat digunakan untuk mengamati segenap penjuru kota Granada.

Menara tertinggi di sini dinamakan Watch Tower, dengan ketinggian empat lantai dan pos-pos pasukan pemanah yang siap sedia di setiap lantainya. Disebut bahwa pada masa Monarki Katolik, di dalam menara inilah Columbus si penemu benua Amerika, meyakinkan dewan gereja dan Monarki Katolik untuk menyetujui dan membiayai ekspedisinya ke “Barat”.

PALACIO NAZARIES
Setelah lama berkeliling, saya akhirnya sampai di lokasi utama dari seluruh komplek Alhambra: Palacio Nazaries atau Nasrid Palaces.
Area ini merupakan jantung dari seluruh Alhambra. Di sinilah tempat bermukimnya Emir Granada saat memimpin wilayah ini di masa lalu.
Untuk membatasi kepadatan pengunjung dalam satu waktu, kawasan ini hanya bisa dikunjungi pada jam-jam tertentu sesuai jadwal yang sudah ditentukan.


Dirancang dengan detail yang sempurna dan presisi yang luar biasa, Nasrid Palaces menjadi tempat yang yang tenang dan sangat cocok bagi Emir Granada untuk bertempat tinggal maupun memikirkan kebijakan-kebijakan politiknya.

Di setiap sudut terpampang ciri arsitektur Islam berbalut nuansa Persia dan Mediterania: langit-langit melengkung, gerbang-gerbang lebar, serta pilar-pilar yang tak terhitung jumlahnya.
Bahkan dengan standar arsitektur saat ini, Nasrid Palaces tetap mendatangkan decak kagum dari mereka yang menyaksikan keindahannya.
Ruangan-ruangan di dalamnya dibangun dengan proporsi sempurna. Dinding-dinding diberi plester putih dan ditutupi ornamen keramik, dengan ukiran kaligrafi dan floral yang sangat mendetail hingga ke langit-langit.
Di bagian tengah istana terdapat area terbuka bernama Courtyard of the Myrtles -merujuk pada rumpun-rumpun bunga myrtles yang ditanam di sekelilingnya.

Tepat di tengah area terbuka ini, terdapat kolam sepanjang 40 meter dengan lebar 7 meter berlapis marmer dan dikelilingi rumpun myrtles.

Ada beberapa bagian utama dari Nasrid Palaces yang bisa diakses pengunjung.
Lokasi pertama yang bisa dimasuki adalah El Mexuar. Tempat ini merupakan aula bertingkat dua yang paling awal dibangun dan menjadi tempat pertemuan para Menteri.


Area berikutnya bernama Palacio de Comares dan menjadi tempat Emir bermukim.
Ada banyak sekali kamar dan ruangan di sini. Puluhan pilar berukir berdiri rapi di sepanjang selasar. Sebagai sentuhan akhir, detail-detail ukiran dilapisi dengan cat berwarna gading dan emas.
Saya bergeser ke bagian selanjutnya: Palacio de los Leones atau Lion’s Palace.
Kawasan ini merupakan area privat yang didiami oleh keluarga Emir, dengan satu plaza di bagian tengah, lengkap dengan kolam marmer yang ditopang oleh patung-patung singa betina.



Jika Palacio de Comares memiliki keruwetan dan detail arsitektur yang mencolok, Palacio de los Leones dirancang lebih sederhana dan polos, meskipun corak ukiran tetap terlihat di sana sini.
Terdapat dua Hall atau ruangan besar yang memegang posisi penting di Nasrid Palaces: Hall of the Boat dan Hall of the Ambassadors.
Hall of the Boat merupakan semacam ruang tunggu bagi para tamu yang hendak bertemu Emir. Langit-langitnya berbentuk oval dengan lagi-lagi ukiran floral. Bagian dalam langit-langit ini dibuat dari kayu cedar dengan kualitas terbaik yang mampu bertahan ratusan tahun.


Sementara, Hall of the Ambassadors merupakan ruang di mana Emir bertahta, sekaligus tempat ia menemui tamu-tamu dan mengadakan acara resmi.
Ruangan berbentuk persegi ini dibangun dengan tinggi langit-langit mencapai 18 meter dengan lantai yang dulu sepenuhnya dilapisi marmer mengkilat.



Nyaris seluruh bagian dinding, gerbang, dan pilar di sini dihiasi ukiran potongan ayat Alquran atau puisi. Dari seluruh tempat di Alhambra, ruangan ini merupakan lokasi termewah dengan dekorasi paripurna.
Tak lupa, layout jendela diatur sedemikian rupa sehingga cahaya dari luar jatuh tepat menimpa posisi singgasana Emir, menimbulkan efek intimidatif bagi siapa saja yang hendak bertemu.

Saat berada di Generalife, saya merasa detail arsitektur di sana sudah sangat luar biasa. Ternyata, saat berkunjung ke Nasrid Palaces, keindahan Generalife tadi terasa tidak ada apa-apanya.

Sungguh, memasuki Nasrid Palaces membuat saya seketika membayangkan bagaimana dulu, sudut-sudut koridor dan ruangan Alhambra pernah dipenuhi orang-orang, dan diwarnai kehidupan para bangsawan.
Mengagumkan.
PARTAL
Area terakhir yang dapat dijelajahi pengunjung di Alhambra bernama Partal, sebuah taman yang dapat ditemui dalam perjalanan keluar komplek Alhambra.
Masih dengan konsep bangunan tropis yang sama dengan area lainnya, di lokasi ini terdapat kolam dan pohon-pohon palem, dengan Ladies Tower sebagai bangunan utama.


Kawasan Partal ini merupakan yang paling terakhir dibangun di Alhambra. Usianya kurang dari dua abad sehingga kondisinya masih sangat bagus dibandingkan lokasi lainnya. Kolam di tengah Partal dibangun tanpa air mancur dan hanya memantulkan bayangan dari bangunan dan pepohonan di sekitarnya.

Tak terasa sudah tiga jam saya bertualang menyusuri apa yang tersisa dari Alhambra.
Menyaksikan istana dan taman-tamannya terasa membukakan mata.
Menyadarkan bahwa tahta adalah satu hal yang fana.


Menatap Alhambra dengan segala pesonanya, semakin mengukuhkan fakta bahwa kekuasaan bisa saja hilang dalam satu kedipan, dan kejayaan tak lain hanyalah titipan.
Tak ada yang sanggup menjamin apa yang kita miliki hari ini akan tetap kita kuasai hingga tua nanti.


Satu hal yang saya syukuri, siapa pun yang dulu bergantian bertahta di Alhambra, telah berbesar hati membiarkan dan memelihara kemegahan bangunan yang diwariskan peradaban sebelumnya.
Beberapa bagian mungkin dihancurkan atau rusak ditelan zaman. Namun, sebagian besar masih dipertahankan, dirawat, dan diperbarui, sehingga masih dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan (semoga) juga oleh generasi mendatang.

Matahari kian beringsut ke barat, gerbang keluar sudah terlihat.
Waktunya rehat.
baca tulisannya cuma bisa “wow” keren banget ini kompleks.
membayangkan betapa luasnya, detil ornamennya, fasad dan langgam desain arsitekturnya, sampai bagaimana cerita sejarahnya, sangat komplit.
dan memang benar, bersyukur rasanya bangunan semegah ini tidak dihancurkan oleh penguasa selanjutnya, mengingat umumnya penguasa selanjutnya menghancurkan jejak-jejak penguasa sebelumnya agar tidak ada yang mengenang kembali.
LikeLiked by 1 person
Sayangnya di kita seringnya bangunan-bangunan lama, terutama yang dibangun jaman kolonial dulu malah dihancurin terus diganti bangunan modern ya, Mas.
Syukurnya bangunan-bangunan buatan nenek moyang kaya candi gitu masih relatif terawat hehe.
LikeLiked by 1 person
iya, alasannya sepertinya karena kebencian.
di beberapa tempat di luar negeri juga sama, emang bergantung sama watak orangnya ya.
LikeLike
Wah kalau udah masalah watak mah susah ya. Masih PR banget ini buat kita semua hehe.
LikeLiked by 1 person
Sekilas tak menyangka bangunan seperti ini ada di Eropa, kawasan yang kadung melekat sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya Kristen dan Katholik 🙂
Sejak pertama melihat Alhambra di majalah anak-anak dan di film Cahaya Islam di Eropa pengen ke Spanyol buat ke Alhambra 🙂 Aku penasaran liat bekas masjidnya da yang katanya juga sangat megah…
LikeLiked by 1 person
Saya belum nonton 99 Cahaya di Langit Eropa, kalo ga salah ada 2 part ya mas? Pengen tau juga masjid yang muncul di filmnya masjid yang mana. Ntar coba nyari ah hehe.
LikeLiked by 1 person
Saya lupa di filmnya muncul apa nggak, yg jelas kalo di bukunya ada salah satu tokoh bersujud di masjid, terus ditegur sama petugas nggak boleh melakukan ritual keagamaan (salat) di Alhambra
LikeLiked by 1 person
Iya sih, sekuler soalnya ya.
LikeLiked by 1 person
Alasannya sih kurang tau saya mas, udah lama soalnya baca novelnya huhu….
LikeLiked by 1 person
Waaah maa syaa allah.. Menakjubkan melihat perjalan anda. Semoga ke depan bisa sampai ke sana, dan menulis catatan perjalanan seperti ini..
Follow my wordpress
Franshasfasa.wordpress.com
LikeLiked by 1 person
Aaamiin, Mas. Semoga suatu hari juga diberikan kesempatan yang sama ya, ada niat dan doa biasanya pasti kesampean hehe.
Terima kasih juga udah nyempatin baca tulisannya, Mas Frans!
LikeLike
Amin.. Btw sampai hari ini masih suka traveling dan buat catatan perjalanan?
LikeLiked by 1 person
Kalau lagi ada kesempatan traveling, saya biasanya selalu menuliskan poin-poin pengalaman atau garis besar informasi menarik yang saya temui di tempat itu di note hape dulu, Mas. Buat jaga-jaga biar ga ada hal menarik yang terlupa. Nanti belakangan kalau ada waktu dan kesempatan biasanya baru saya tulis versi lengkapnya, hehe.
LikeLike
Salam kenal, Mas? Saya kali pertama berkunjung ke blog ini. Ada postingan paling baru, tapi saya lebih memilih membaca postingan soal Alhambra ini.
Seorang teman dari Majenang, Cilacap, dulu pernah bercerita perihal perpustakaan pribadinya. Nama perpustakannya adalah Alhambra. Ketika saya tanya apa maksud Alhambra? Dia bilang mengacu pada sebuah peradaban yang pernah jaya di Andalusia tempo dulu. Saya cuma mengangguk, sebab saya tak taahu persis Alhambra.
Mumpung Mas Ikhwan sudah berkunjung kesana, saya nitip satu pertanyaan: Apakah ada perpustakaan di Alhambra?
Maturnuwun…
Salam…
LikeLiked by 1 person
Halo Mas Sukman, terima kasih udah main ke sini, semoga betah hehe.
Mungkin untuk sedikit gambaran, Alhambra ini adalah bekas benteng dan istana yang sekarang dialihfungsikan menjadi museum. Alhambra ini ada di Granada, salah satu kota yang dulu jadi bagian dari peradaban Andalusia. Jadi, mungkin lebih tepat bila Granada disebut sebagai salah satu bukti majunya peradaban Islam di wilayah Andalusia pada zaman dahulu. Setahu saya, Alhambra sendiri tidak pernah dikenal sebagai istilah atau rujukan untuk sebuah peradaban.
Soal perpustakaannya, dulu saat Alhambra masih berfungsi sebagai istana dan benteng, di bagian Palacio de los Leones (kediaman keluarga) dan Palacio de Comares (tempat tinggal Sultan) katanya terdapat perpustakaan untuk sultan dan keluarganya. Di Granada sendiri pada masa keemasan Andalusia banyak sekali bangunan perpustakaan yang diisi koleksi buku-buku ilmiah.
Pada zaman sekarang, di dalam Alhambra sendiri seingat saya sudah tidak ada lagi ruangan yang difungsikan sebagai perpustakaan. Namun, di dekat taman Generalife (masih berdekatan dengan komplek Alhambra) sudah didirikan perpustakaan bernama Biblioteca de la Alhambra. Gedung kecil perpustakaan ini menyimpan koleksi buku-buku tentang sejarah Ahambra, termasuk koleksi buku-buku ilmiah yang berasal dari masa Andalusia, termasuk manuskrip-manuskrip yang dulu pernah disimpan di dalam Alhambra.
Begitu kira-kira, Mas. Salam buat temannya ya, semoga suatu hari bisa berkunjung langsung ke Alhambra juga.
LikeLike
Ini…. Dorne, Mas Ikhwan. 😀 Tapi, lokasi syuting GoT sepertinya di Sevilla ya, Mas?
Ini pertama kalinya saya baca tulisan perjalanan ke Andalusia. Saya penasaran melihat daerah itu karena cerita Santiago di The Alchemist, Mas. Tapi kisah Santiago sepertinya lebih banyak berlatar di padang rumput dan kota-kota kecil. Omong-omong, dalam perjalanan ke sana Mas Ikhwan melihat padang gembala-kah? 😀
Dan terima kasih sudah menulis soal rumput myrtle, Mas. Akhirnya saya mengerti sedikit soal asal kata dari nama Myrtle Merana di Harry Potter. 😀
LikeLiked by 1 person
Wah iya juga ya, Moaning Myrtle kan ya namanya kalo ga salah di harry potter. Myrtle merana. Entah kenapa diterjemahin jadi merana begitu ya hehe..
Alhambra ini memang ada kemiripan dengan Dorne, mas. Tapi sebenarnya lokasi syuting Dorne yang di Seville itu yang ternyata mencontoh desain bangunan dan taman di Alhambra ini. Yang di Seville itu namanya Alcazar de Sevilla kalo ga salah. Kebanyakan adegan Dorne di season 5 diambil gambarnya di sana.
Waktu itu saya berpindah dari granada ke seville terus ke cordoba (beberapa kota tua andalusia) dengan menggunakan bus, mas. Seingat saya di antara kota-kota itu terdapat cukup banyak padang rumput. tapi kok saya ga ingat liat kumpulan hewan ternak, padangnya kebanyakan kosong. Kurang tau juga apakah memang lagi ga berkeliaran ato gimana. Tapi gambaran daerahnya memang mirip-mirip dengan yang ditulis Coelho dalam the Alchemist sih hehe.
LikeLike
Suka banget membaca detail tulisan ini. Membuat saya merasa ikut jalan-jalan di dalamnya juga. Alhambra di Granada, bahkan Andalusia secara umum adalah salah satu daftar teratas tempat yang ingin saya kunjungi di Eropa. Rencananya tahun ini pergi ke sana, tapi sepertinya saya masih harus menunda lebih lama lagi. Terima kasih sudah berbagi kisah apiknya mas Ikhwan.
LikeLiked by 1 person
Halo Mas, makasi banyak udah baca. Sebenernya ada sedikit info yang baru saya tahu belakangan tentang taman-taman di Alhambra ini.
Ternyata taman-tamannya sengaja dirancang dan dibangun penuh semak bunga, gemericik air, dan aliran kanal kanal air buatan karena berupaya mengadopsi konsep Surga dalam ajaran agama Islam, di mana Surga digambarkan sebagai Taman Indah yang dialiri sungai-sungai.
Spanyol (terutama bagian selatan) memang cukup mengesankan buat saya. Semoga pandemi ini cepat kelar, jadi rencana kunjungan yang tertundanya bisa segera terwujud, Mas!
LikeLiked by 1 person