Sebagai sebuah kabupaten kecil di pelosok Provinsi Kepulauan Riau, nama Karimun masih kalah tenar dari daerah lain dengan sebutan hampir serupa: Karimun Jawa.
Nasib sama dialami Ibukotanya, Tanjung Balai Karimun. Nama kota ini sampai harus diimbuhi kata “Karimun” di belakangnya karena kebetulan punya sebutan identik dengan kota lain, Tanjung Balai, yang berada di Asahan, pesisir timur Sumatera Utara.

Dulu, dalam masa keemasan raja-raja Melayu, Karimun mencelat jadi kota perdagangan berkat gambir, timah, dan bauksit. Raja Ali Haji, sang penguasa, membawa Karimun ke masa jaya di bawah kekuasaan Kerajaan Riau Lingga.
Pun demikian, pulau-pulau kecil yang tersebar di wilayahnya rutin jadi singgahan tetap para lanun, yang menyimpan harta atau sekedar membuka tenda selepas merompak kapal-kapal niaga yang menyesaki lalu lintas Selat Malaka.

Dekade berlalu, Karimun dan pulau-pulau kecilnya masih jadi senjata rahasia penyelundup manusia dan dagangan lainnya untuk menyusupkan komoditas tak berizin dari Malaysia dan Singapura, pula sebaliknya.
Tak sedikit juga warga seberang yang berbondong ke Karimun, untuk bekerja di tambang, berdagang, mengundi pundi-pundi di meja judi, hingga mencicipi temaram wisata malam.

Tapi itu dulu. Seiring harga timah yang melemah, Karimun seolah kehilangan gairah. Kini, meskipun tak layak disebut sepi, Karimun seolah jadi kabupaten yang menjalani hari-hari tanpa obsesi. Bagaimana berharap pembangunan bisa bangkit bila kas daerah terlalu akrab dengan defisit?
Pagi tadi saya sempatkan berlari, atau tepatnya berjalan kaki mencari sarapan, ke kawasan pesisir dan sekitar pelabuhan. Selingkup pusat keramaian di sisi laut ini bersumbu pada jalan poros utama yang sempit, dengan beberapa persimpangan di sepanjang badannya. Daerah inilah yang mula-mula menjadi pusat kota Tanjung Balai Karimun.

Aura pecinan dan kota tua menguar hebat dari kawasan ini. Toko-toko berdinding papan menggantungkan lampion dan tempat dupa di depan pintunya. Jika mengintip ke ruangan depannya, selalu ada patung-patung Budha ataupun leluhur mereka di sana. Namun, istimewanya, simbol-simbol budaya Tiongkok di sepanjang jalan juga bersinergi dengan simbol-simbol khas Melayu. Padan dan padu.

Seiring langkah kaki, alunan Zapin Melayu dari Lesti berdesir pelan di telinga saya di sela suara aktivitas pagi kota yang mulai menggeliat (Hey, I’ve been here for weeks! What do you expect me to play on my Spotify, ha? Bosen, kali, denger Yank Haus-nya Duo Tiktok mulu).
Kiri kanan jalanan pelabuhan berdiri ruko-ruko tua khas pesisir Sumatera. Sebagian berdesain tipikal bangunan peranakan, lainnya dibangun dari kayu berciri Melayu. Di antara keduanya, terselip bangunan-bangunan batako lebih baru dengan karakter 60-90an: langit-langit rendah, pintu dorong berjeruji, serta papan nama toko besar tepat di atas pintu masuk.


Ruko-ruko tadi dimanfaatkan untuk berjualan. Pakaian, penganan, hingga kebutuhan harian. Seakan mengakomodasi budaya minum kopi dan bercengkerama di pagi hari yang jamak dianut masyarakat Melayu, warung-warung kopi pun bertebaran.


Bukan dalam desain baru dan kekinian, warkop-warkop ini terpelihara dalam bentuk aslinya. Bangunan lama, perabotan tua, hingga suasananya, terjaga sebagaimana sedianya di masa lalu.

Lama melangkah, kaki saya akhirnya terantuk di depan salah satu kedai makanan. Pagi belum terlalu tinggi, saya beranikan diri untuk masuk dan mencari bangku kosong di antara meja bundar berbahan keramik dengan kursi kayu yang dipenuhi pengunjung berbagai rupa.
“Menunggu sebentar, boleh?”
Suara perempuan pelayan kedai membuyarkan lamunan saya, memberitahu bahwa pesanan saya belum tersedia.
Kakak tadi, -demikian sapaan buat “mbak-mbak” di daerah ini-, mengenakan jilbab sederhana dan bertutur dalam dialek melayu yang khas: huruf “r” dilafalkan dengan “gh”, huruf “u” dibaca sebagai “o”, semua dirangkai dalam alunan aksen yang biasa kita dengar saat menonton kartun Ipin dan Upin di televisi.
Saya anggukkan kepala, mengiyakan.
Tak perlu lama menunggu, pesanan saya datang: sepiring mie lendir, mie kuning dengan potongan telur rebus, taoge, dan daun bawang, yang disirami kuah kacang lalu ditaburi bawang goreng.

Kenapa dinamakan lendir? Karena memang begitulah tampilan kuahnya. Kental, hingga lebih tepat disebut lendir ketimbang kuah. Rasanya seperti kuah pecel tapi dengan citarasa kacang yang lebih “ringan” dan tekstur seperti papeda dalam level kekentalan yang berbeda.
Selesai menyantap mie tadi, saya coba mengetuk perut. Sepertinya masih ada ruang sedikit untuk diganjal cemilan. Terbersit keinginan untuk mencicipi beberapa kudapan yang di jual di area pelabuhan.
Ngomong-ngomong, sebelum saya terlupa, ada satu tips sebelum menjajal kuliner di Karimun: Jangan ragu bertanya. Karimun adalah daerah majemuk dengan penduduk beragam. Beberapa warung menjual menu non halal, jadi ada baiknya memastikan.

Saya lanjutkan petualangan icip-icip pagi itu dengan memasuki kedai kopi tua berwarna jingga di sudut jalan. Tak ada makanan berat, mereka khusus menjual kopi dan sedikit cemilan. Tepat sesuai kebutuhan saya.
Sepiring mie lendir sudah menetap dalam perut. Lalu di kedai kopi ini, saya susulkan segelas kopi (yang sengaja disajikan dalam gelas keramik agar panasnya bertahan lama), dua butir telur setengah matang, serta setangkup roti bakar serikaya. Banyak juga ternyata yang sudah saya makan.

Saya balikkan badan, berniat melangkah kembali ke penginapan sambil memperhatikan kiri dan kanan. Beberapa bus tua tak berjendela berjalan pelan. Bus-bus ini telah lama menjadi salah satu identitas unik kota Tanjung Balai Karimun.

Masyarakat umum, mulai dari siswa sekolah hingga ibu rumah tangga, setiap hari sabar menanti bus-bus berbadan kayu tersebut melewati jalanan di depan rumah, mengantarkan penumpangnya ke pasar atau ke sekolah.

Hal menarik lainnya, di kedua sisi jalan wilayah pelabuhan, simbol-simbol kemajemukan berserakan. Ada masjid, disusul beberapa klenteng, kemudian gereja, yang masing-masingnya berjarak beberapa puluh meter saja.



Sekali saya bertanya pada seorang warga, Pak Tua paruh baya, “Pernahkah ada konflik horizontal terbuka di sini?”
“Tak pernah”, jawabnya. “Masyarakat sini suka yang damai-damai saja. Semua membaur, melihat orang-orang dalam bentuk dan kebiasaan berbeda tak lantas mencuatkan curiga”.

Sepertinya Pak Tua yang saya tanyai itu tak berdusta. Di warung kopi tadi saya menikmati suasana beragam. Di satu pojok serombongan warga keturunan Tiongkok berbicara dalam bahasa Kanton. Di pojok lain ada pengunjung yang berbincang dalam aksen Melayu. Lalu ada pula orang keturunan India, tak lupa ibu-ibu dalam balutan jilbab ala Malaysia. Bhineka yang sesungguhnya tersaji di depan mata.

Sebelum kembali, saya sempatkan mengunjungi klenteng di seberang jalan dan berbincang dengan beberapa bapak yang duduk bergerombol di depannya. Obrolan yang menarik. Tapi mungkin lain kali saja saya ceritakan.

Pagi beranjak siang. Perut sudah pula terisi kenyang.
Saatnya pulang.
Sebelum membaca ini, ketika orang menyebut Karimun (Kepulauan Riau), pikiranku cenderung seperti masyarakat yang kental muslimnya. Tatkala membaca malah hilang.
Sepertinya menarik abgaimana kala waktu Imlek di sini. Pasti meriah, dan mungkin sebagian orang tidak mengira itu di Karimun.
Aku pas di Batam belum sempat kulineran Mie Lendir, cuma makan gonggong saja heeee
LikeLiked by 1 person
Secara umum Kepulauan Riau memang didominasi Melayu Muslim, Mas. Pengecualian mungkin di Batam dan Karimun yang sangat heterogen.
Di Karimun, sebagian masyarakat keturunan Tiongkok menyebut dirinya “Cina Pulau”, istilah yg secara bebas bisa ditranslasikan sebagai bentuk peleburan diri ke dalam masyarakat yang majemuk tadi.
Saya tidak menemukan area chinatown atau kampung cina di sini, masyarakat keturunan sebagian besar hidup membaur tanpa batasan dan tidak berkelompok sesama mereka saja. Denger2 sih kalau imlek di sini emang rame, Mas. Cuma kebetulan saya belum pernah nyicip suasana imlek di sini.
Btw, ada 2 macam mie yg perlu dicoba kalo ke Kepri: Mie Lendir dan Mie Tarempa, dua-duanya khas sini hehe. Kalau gonggong juga kuliner unggulan sih, cuma kolesterolnya itu yang ga nahan, tinggi banget! :)))
LikeLiked by 1 person
Sepertinya, ada perubahan desain template ya, Bang? Soalnya aku merasa ada yang berbeda dari kali pertama aku mampir ke sini. Aku takjub dengan bus tua tanpa jendela itu yang rupanya masih menjadi transportasi umum andalan warga.
Sepertinya membayangkan berkunjung ke Karimun laksana berada di tempat yang tenang dan damai, meski tidak cukup sepi. Waktu tidak berjalan cukup cepat di sini. Asyik.
LikeLike
Kalau template blognya belum ganti sih, Mas. Berencana ganti sih karena ngerasa yang ini kok agak kekecilan fontnya terus lebar space buat tulisannya kekecilan, jadinya manjang ke bawah gitu. Tapi belum nemu template yang pas buat gantinya hehe.
Kalo template tulisan ini kayanya emang agak sedikit beda dengan yang sempat saya pos di Stories ig.
Btw itu bus tua kayanya masih dipakai memang karena blm ada alternatif pengganti juga kali ya :)) Tapi jatohnya malah unik dan berciri khas banget hehe. Boleh tuh kapan-kapan main ke situ, Mas.
Makasih udah mampir, Mas, jadi ngingetin kalo punya blog dan punya utang tulisan yang sampe sekarang belum diposting :)))))
LikeLiked by 1 person
Ah, Tanjung Balai, kota yang pernah saya tinggali antara tahun 2008 hingga 2010. Dulu tulisan Karimun yg menjorok itu belum ada mas hehe. Belum ada hotel Aston dan KFC, ada sih KW-annya, namanya McDotta yg sekarang di dekat hotel Aston 🙂
Kota yang menyenangkan, dimana orang Melayu, Tionghoa, dan lain-lain duduk semeja di kopi tiam (kedai kopi) dengan logat masing-masing tanpa jarak sama sekali.
Btw.. pas ke TBK masih liat becak yg pengemudinya di samping nggak? Saya paling suka naik itu di TBK, kalau bas (bus kayu kuno) malah belum sempat cobain
Salam kenal ya mas 🙂 Isna
LikeLiked by 1 person
Salam kenal juga, Mas.
Pernah di TBK mas? Menarik ya kotanya. Meski buat sebagian teman kotanya dianggap sepi, tapi kok menurut saya ritmenya yang ‘pelan’ jadi bikin bisa menikmati hidup. Terlepas dari mungkin belum adanya beberapa sarana yang mungkin bisa ditemui di kota-kota lain.
Terakhir saya ke sana Aston masih ada (tetap full music karena ada ‘panggung pertunjukan’ di depannya :D), tapi udah lumayan banyak juga hotel-hotel lain.
Betul, saya menikmati duduk di warung kopi kota tuanya sambil ngedengerin masyarakatnya ngobrol-ngobrol. Semoga tetap bertahan begitu, karena belakangan saya dengar ternyata sempat ada konflik kecil juga terkait rumah ibadah. 😦
Kalau becak yang samping seingat saya cuma liat satu-dua kali, jadi waktu itu saya pikir cuma milik warga aj, bukan yang jadi sarana utama. Kalau bus antik itu sih masih Mas, anak-anak sekolah masih naik itu hehe.
LikeLiked by 1 person
Kirain udah ditutup panggungnya? Haha
Saya ½ tahun di TBK, 2 tahun di Tanjung Batu Kundur, 1 jam dari TBK tp masih sering ke TBK karena kami induknya kesana
Saya juga sempat dengar kasus gereja itu, tp kayaknya sekarang udah ada solusinya
LikeLiked by 1 person
Masih mas, kan itu ciri khasnya. Panggung musik hahaha..
Kundur ya. Lumayan rame juga sih ya Kundur kalo ga salah. Mirip-mirip sama TBK.
Bener mas, sempat baca udah ada solusi. Mudah-mudahan beneran selesai masalahnya.
LikeLiked by 1 person
Saya dulu pernah tinggal dekat situ, di Kapling mas
sebelahan sama hiburan malamnya TBK, entah sekarang masih ada apa nggak 🙂
Amien mas, btw … kalo tanjung balai kan suka dibilang “balai” kalo tanjung batu kundur dibilangnya “tanjong”, kundur dibilang “kundo”
Datang pas musim durian mas hehe, rame tuh Tanjung Batu 🙂
Saya sukanya Tanjung Batu ada pantai yg banyak batu2 besar kayak di film laskar pelangi, namanya pantai Lubuk dan pantai Batu Limau
Eh, maaf nyepam mas
LikeLiked by 1 person
Kayanya masih ada sih mas karena ga banyak berubah kok daerahnya. Saya balik ke sana setelah 2 tahun sejak kunjungan terakhir, dan kondisinya masih belum banyak berubah (in a good way).
Kemaren pas ke Kundur lagi ga musim durian sayangnya, Mas. Sempat ngobrol-ngobrol sama warga sana katanya memang di sana duriannya juara. Dulu Kundur katanya juga penghasil Gambir, tapi sekarang sejak harga Gambir merosot, udah dikit yang nanam.
Haha santai, ga nyampah kok, malah senang kalo ada yang komen. 😀
LikeLiked by 1 person
Haha… syukurlah kalo suka “berbalas pantun” di kolom komentar mas haha..
Betul, kayaknya sekarang fokus ke karet dan durian. Dulu kayaknya ada pilot project sawah tadah hujan di prayun, dekat kompleks pt timah
LikeLiked by 1 person
Setelah era kejayaan timah berlalu, memang jadi meraba-raba lagi kayanya masyarakat di sana buat milih komoditi mana yang bisa menjual dan mendatangkan laba. Semoga akhirnya nemu yang pas dengan kondisi geografis dan sosiologis warga sana hehe.
LikeLiked by 1 person
Pertama kali tiba di TBK saya heran kenapa lautnya kecoklatan, begitu halnya dengan laut di TBT, padahal dari Sekupang ke TBK lautnya masih toska… timah rupanya biang keroknya 🙂
Kalau mau bernostalgia dengan gelimang timah di Kundur, silakan datang ke Prayun mas, liat rumah2 dan bekas kemewahan ala pegawai PT Timah
LikeLiked by 1 person
Bener, agak keruh gitu ya lautnya. Ngeri juga kalau limbahnya dulu langsung dibuang ke laut tanpa diolah.
Prayun ya mas namanya? Noted. Semoga kalau ada kesempatan ke sana lagi saya bisa main ke sana Rumah-rumah di sana udah ditinggal kosong gitu atau masih ditempatin ya Mas?
Timah memang udah habis masa jayanya. Sama seperti di Bangka Belitung (kaya di novel laskar pelangi), kejayaan timah yang sudah berlalu tinggal menyisakan jejak-jejaknya doang. Kelompok masyarakat yang telat beradaptasi dengan perubahan harga timah jadinya terkena imbas paling gede dari hal tersebut.
LikeLiked by 1 person
Rumah-rumah pegawai Timah dulu masih dihuni sih mas. Ada kawan kantor yg kawannya kerja di PT Timah. Sarana pendukung aja yg banyak rusak seperti lapangan tenis, bioskop, kolam renang.
LikeLiked by 1 person
Wah menarik. Semoga sempat liat-liat ke sana kapan-kapan hehe.
LikeLiked by 1 person
Siap mas … ditunggu 🙂
LikeLiked by 1 person
Suasana Tanjung Balai yang Mas ceritakan ini bikin saya ingat cerita-cerita Andrea Hirata soal kehidupan harmonis di Gantong. Tiap-tiap komunitas punya karakter kuat, tapi kekuatan itu justru bikin mereka makin erat. Warna-warni. 🙂 Mungkin hidup dalam keberagaman memang nggak bisa dimengerti cuma dengan baca buku, ya, Mas? Mesti dipraktikkan. 🙂
Saya jadi penasaran ke Tanjung Balai, duduk-duduk di warung kopinya, atau coba naik angkutan lawas itu. 🙂
LikeLiked by 1 person
Saya sepakat kalau ini. Tanjung Balai Karimun ini karakteristiknya sama seperti kebanyakan kota-kota di pesisir Timur pulau Sumatera. Terutama daerah-daerah yang pernah kaya dari industri pertambangan, Gantong salah satu contohnya. Rata-rata memang daerahnya jadi majemuk dan sangat plural.
Boleh kapan-kapan disambangi Mas, hehe.
LikeLiked by 1 person
Mudah-mudahan suatu saat bisa ikut jejak Mas Ikhwan ke sana. 😀
LikeLiked by 1 person
Aamiin, mas!
LikeLiked by 1 person
Terima kasih ulasannya mas Ikhwan. Saya sekalian izin follow blognya ya mas. Saya malah baru pertama kali mendengar Karimun di Riau. Malah awal-awal baca postnya saya pikir ini akan cerita tentang Karimun Jawa, ternyata saya salah.
Angle-angle foto nya bagus mas, jadi kita bisa melihat Karimun dengan lebih cermat. Yang menarik adalah ada banyak contoh kemajemukan yang harmonis di Indonesia, sayangnya memang tidak banyak diekspos. Betapa indahnya Indonesia, jika kemajemukan itu diapresiasi, alih alih mencari letak perbedaannya.
Nice post mas
LikeLiked by 1 person
Sama-sama, mas Cipu. Izin main dan follow blognya juga ya.
Memang namanya sama persis dengan Karimun yang di Jawa mas, jadi bikin ragu kadang-kadang. Hehe.
Mungkin sebenernya sangat banyak daerah-daerah majemuk yang penduduknya hidup berdampingan dengan rukun seperti ini ya. Sayangnya seringkali yang diekspos media hanya yang konflik aja.
Terima kasih sudah mampir dan nyempatin baca, mas Cipu.
LikeLike