Dulu, saat masih berdomisili di ibukota, saya pernah rutin mengawali Minggu pagi dengan berlari di Car Free Day, Jakarta. Rutenya nyaris selalu sama, dari Bendungan Hilir terus ke Jalan Sudirman, berlanjut ke bundaran Hotel Indonesia, lalu lurus sepanjang Jalan Thamrin hingga ke tugu kuda. Dari sana, saya akan berputar lalu kembali ke Bendungan Hilir. Sesekali, saat semangat sedang memuncak, rute tersebut bisa saya ulur hingga memanjang ke GBK, sebelum berbelok dan kembali ke titik semula.

Dulu, beberapa tahun lalu, Car Free Day atau CFD Jakarta terasa lega. Pukul 6 pagi, jalanan telah ditutup, lalu pelan-pelan bermunculan orang-orang yang ingin berolahraga. Semata berlari, bersepeda bersama kolega, atau jalan santai sambil ngobrol bersama keluarga. Demikian berlanjut, hingga langit sepenuhnya terang, saat akhirnya CFD ditutup tepat pukul 11 siang.
Dulu, di awal kemunculannya, CFD Jakarta hanya dihiasi tiga-empat seniman kota. Mereka bernyanyi, memainkan beberapa musik, berdiri di sudut-sudut jalan. Memainkan beberapa lagu dengan kesungguhan, menebarkan irama menyenangkan yang tidak mengganggu kuping mereka yang sedang berolahraga.

Dulu, CFD Jakarta diadakan untuk membentuk karakter manusia, agar belajar dan terbiasa mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor serta lebih banyak menggunakan transportasi publik. Problema kemacetan sudah sedemikian pelik, sehingga meningkatkan polusi dan memburuknya kualitas udara.
Dulu, menutup dan membebaskan jalan dari asupan kendaraan satu hari dalam seminggu dirasa akan membantu udara Jakarta menjadi sedikit lega. Selain itu, CFD juga diharapkan bisa jadi sarana warga bertegur sapa, semacam ruang publik yang bisa digunakan untuk rekreasi seraya mengolah raga.

Dulu, CFD Jakarta digadang-gadang punya banyak batasan. Mereka yang ikut serta tidak boleh menyebarkan materi promosi yang akan menimbulkan sampah. Brosur, stiker, flyer, atau poster jelas tidak diizinkan untuk dibagikan. Ada juga aturan untuk tidak melakukan penjualan yang bersifat hard-selling. Juga tidak diperbolehkan melakukan kegiatan bertema SARA, politik, rokok, atau otomotif.
Dulu, kebanyakan masyarakat masih taat aturan. CFD hanya dijadikan arena bercengkrama, berkumpul, atau olahraga sambil tertawa-tawa. Hanya sedikit yang membacanya sebagai peluang berniaga.

Putaran tahun berlalu, saya meninggalkan Jakarta, dan berlari di CFD Minggu pun tersingkir dari agenda mingguan. Sampai suatu ketika, saya berkesempatan kembali menapaki jalanan ibukota dan menyempatkan diri untuk menyicipi CFD di rute yang sama.
Harus saya akui, saat ini CFD Jakarta terasa sangat berbeda. Tapi entah kenapa, buat saya perubahan suasana tadi membuat CFD menjadi sedikit kurang menyenangkan. Setidaknya untuk berolahraga.

Sepanjang perhatian saya, ada banyak hal yang berkontribusi mengubah situasi CFD dan menciptakan kondisi yang tak lagi cocok untuk berolahraga.
Apa saja?
Ini dia.
1. Terlalu banyak orang
Sekarang, di mana-mana di sepanjang area CFD penuh dengan manusia. Terlalu banyak orang malah. Beragam jenis manusia dari kelompok-kelompok berbeda tumpah ruah memenuhi jalan.


Ada yang sendirian, berdua pasangan, berombongan bersama teman, atau membawa satu pasukan lengkap rekan sekantor. Tidak saja di badan jalan, bapak-bapak, ibu-ibu, abege kekinian, mas-mas, mbak-mbak, serta anak-anak menyemut di trotoar, hingga ke sudut-sudut jembatan penyeberangan.


Tentu saja, jalanan yang penuh sesak tidak lagi menyenangkan sebagai tempat berlari atau bersepeda. Bagaimana bisa berlari dengan nyaman bila setiap beberapa saat harus berhenti karena di depan ada serombongan orang yang berjalan pelan memblok seluruh jalan.

Bergeser cepat ke kiri atau kanan juga sama-sama tidak memungkinkan. Menyebalkan jika itu terjadi saat kita tengah semangat-semangatnya berlari. Jadi mengacaukan ritme karena harus sering-sering berhenti.

Selain itu, CFD yang terlalu ramai juga membuat beberapa titik jalan yang penuh sesak menjadi terasa pengap. Bayangkan ratusan orang berkeringat berdesak-desakan. Itulah sebabnya, sangat dianjurkan untuk setidaknya menggunakan deodoran sebelum datang ke CFD. Demi kemaslahatan umat.
2. Pedagang yang merajalela
Tidak sepenuhnya keliru jika CFD saat ini disebut lebih mirip pasar tumpah. Sepanjang jalan dengan mudah ditemui orang berjualan, dengan titik pusat keramaian pedagang berkisar dari Stasiun Sudirman hingga Djakarta Theater di Jalan Thamrin.

Sebenarnya pedagang juga berjualan di titik-titik lain sepanjang jalan, tapi di kawasan tadi jumlahnya melebihi pedagang di area lainnya.
Pedagang-pedagang tersebut sebagian di antaranya adalah pedagang profesional yang memang sehari-hari menjadikan jual beli sebagai profesi. Namun, tidak sedikit juga yang merupakan pedagang dadakan. Umumnya anak muda yang mencari tambahan rezeki di Minggu pagi.

Lalu apa saja yang dijual pedagang-pedagang tadi di CFD?
Saya mencoba mengamati dan menemukan bahwa di “pasar” CFD, kita bisa menemukan hampir segala jenis barang.
Sebagai contoh, kita bisa dengan mudah menemukan pedagang segala jenis minuman dan makanan yang menyasar orang-orang yang kelaparan sehabis berolahraga.





Tidak hanya kuliner, di CFD juga bisa ditemui beragam barang-barang lainnya, mulai dari yang biasa saja, hingga yang tidak terduga.









3. Trotoar yang dijajah
Saat ini ruas-ruas trotoar yang berdekatan dengan area CFD telah berubah fungsi menjadi lahan parkir. Tentu saja tidak gratis. Ada oknum-oknum yang menyamar menjadi petugas parkir, mengizinkan lahan trotoar menjadi tempat parkir ratusan motor, dan menarik biaya parkir atas kendaraan-kendaran tersebut.

Saya tidak melihat mereka mengenakan seragam tukang parkir resmi Pemprov, sehingga kemungkinan aksi mereka adalah aksi illegal. Area-area parkir liar di sekitar Sudirman Thamrin ini tentu saja mengganggu pejalan kaki yang hendak menggunakan trotoar untuk berjalan kaki.
Harus diakui, kemunculan area parkir liar ini sebenarnya juga merupakan akibat dari malasnya warga menggunakan transportasi umum untuk menuju lokasi CFD. Ketimbang menggunakan Transjakarta misalnya, banyak yang lebih memilih menggunakan motor pribadi, memarkirnya di dekat area CFD, lalu melenggang pergi.

Selain itu, trotoar Sudirman Thamrin (yang sekarang telah diperbaiki dan diperluas) pada Minggu pagi juga nyaris tidak bisa dilewati karena penuh oleh pedagang. Sebagian bahkan nekad memasang meja dan kursi di belakang gerobak dagangan. Beberapa ruas trotoar sepanjang jalan utama tersebut benar-benar terblokir sepenuhnya oleh pedagang.


Pemprov DKI setahu saya memang memberi izin bagi pedagang untuk berjualan di trotoar selama CFD. Pedagang malah tidak diperbolehkan berjualan di badan jalan. Hanya saja, kebijakan ini tentunya juga tidak memperbolehkan pedagang memblokir akses trotoar. Yang terjadi saat ini, ruas jalan dipakai untuk berjualan, sementara akses trotoar juga banyak yang tertutup oleh pedagang-pedagang dadakan tersebut.
4. Sampah yang berserakan
Meskipun Sudirman dan Thamrin menyandang status sebagai jalan utama ibukota, tetap saja sebagian pengunjung CFD tidak malu-malu membuang sampah seperti bekas botol minuman atau kemasan makanan begitu saja ke jalanan. Bahkan saat posisi tong sampah hanya berjarak beberapa meter dari mereka.


Tidak lupa, segala macam pedagang CFD biasanya juga membiarkan sampah bertebaran di sekitar gerobak dan meja-mejanya. Siang hari saat CFD berangsur sepi, petugas kebersihanlah yang ketiban pulung menyapu dan mengumpulkan sampah orang-orang tak bertanggungjawab tadi.
5. Transjakarta yang terhambat oleh peserta CFD
Di minggu pagi saat CFD dilaksanakan, koridor I Transjakarta yang melayani rute Blok M – Kota tetap buka dan melayani penumpang seperti biasa. Sayangnya, sebagian peserta CFD seolah lupa bahwa Transjakarta tetap beroperasi. Mereka tetap saja memakai jalur khusus bus tersebut untuk berlari dan bersepeda.

Akibatnya, operasional Transjakarta menjadi sedikit terhambat karena orang-orang tadi tidak sigap menyingkir saat ada bus yang mendekat. Sebagian tetap berleha-leha dan memaksa sopir bus memperlambat kendaraannya, meskipun telah diingatkan dengan klakson berkali-kali. Ketidakpedulian sederhana ini tentu berdampak pada penumpang bus yang mungkin saja sedang bergegas ke tempat tujuan mereka.
6. Proyek pembangunan di sepanjang jalan
Dibandingkan beberapa tahun lalu, pemandangan di kiri kanan jalan sepanjang lokasi CFD sudah banyak berubah. Di banyak titik bermunculan proyek pembangunan gedung-gedung baru yang mengubah skyline Jakarta.

Selain itu, saat ini juga tengah dilaksanakan proyek perbaikan dan pelebaran trotoar, serta proyek pembangunan MRT Jakarta. Pelaksanaan proyek-proyek tersebut membuat beberapa tempat di sepanjang jalan ditutup dan mempersempit ruas jalan.

Namun, poin yang satu ini dapat saya maklumi karena memang memiliki tujuan dan manfaat yang jelas.
7. Terlalu banyak kegiatan masyarakat yang tidak terkoordinasi
Ada banyak kegiatan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas masyarakat di CFD Jakarta. Misalnya senam pagi institusi itu atau gerak jalan lembaga anu. Belum lagi kumpul-kumpul klub A, jalan santai komunitas B, unjuk gigi sanggar C, kampanye program D, ondel-ondel E, pagelaran budaya F, dan sebagainya.



Sejatinya pelaksanaan kegiatan semacam itu sah-sah saja sepanjang tidak membawa tema SARA atau kampanye bernuansa politik. Hanya saja, terkadang semua kelompok seperti berebut mengkapling tempat dan memenuhi badan jalan. Alih-alih suasana karnaval yang meriah, yang terasa malah situasi yang semrawut.


Begitulah.
Saya sendiri tidak bisa memutuskan apakah hal-hal yang saya sebutkan di atas tadi membuat suasana CFD menjadi tidak menyenangkan buat semua orang, karena nyatanya tetap banyak wajah-wajah ceria dan bahagia yang saya temui di sepanjang jalan.
Setiap orang tentu punya standar dan ekspektasi berbeda. Namun, buat saya, hal-hal tersebut membuat CFD Jakarta sekarang terasa kurang cocok untuk mereka yang benar-benar berniat olahraga.

CFD sekarang lebih tepat disebut sebagai tempat rekreasi warga, jalan-jalan santai bersama keluarga, mencari sarapan, mencicipi beragam kuliner dan cemilan, belanja dadakan, ber-selfie dan berfoto, atau sekedar merasakan jalanan ibukota kembali menjadi tempat interaksi antar penduduknya.

Bagaimana menurut Anda?
sebenarnya dari konsumennya juga, selama masih mau membeli barang dagangan yang dijaja tadi ya mereka2 ini tetap akan menyemut di pinggiran jalan, selain ketegasan yang berwenang.
LikeLike
Sepakat mas. Masalahnya kita kan kalau abis olahraga bawaannya emang pengen langsung ngemil atau sarapan ya. Jadi semacam simbiosis mutualisme juga. Hehe.
Mungkin kalau yang mau fokus olahraga sebaiknya ke GBK ya mas, kalau mau jalan santai sambil cari sarapan bisa ke CFD.
LikeLiked by 1 person
dan banyak juga yang sebenarnya pengin wiskul dibanding olaharaga hiks
LikeLiked by 1 person
Waini. Manusiawi sih tapi ya, hehe.
LikeLike
Kayak kapal tumpah ya mas, bedanya ini kapalnya ribuan sehingga semua ABK nya pada turun ke daratan semua …
Saya pernah tinggal di (pinggiran) Jakarta dan gak terlalu pengen ke CFD wkwkw…
Di kota kecil, di remote area yg sekarang saya tinggali pun sekarang ada CFD, olahraganya sebatas ibu2 yg aerobik, selebihnya ke CFD buat kulineran dan cari sarapan mas 🙂
LikeLiked by 1 person
Dulu banget waktu CFD belum sengehits sekarang sih saya cukup menikmati berolahraga di CFD, tapi sekarang agak terganggu sama keramaiannya.
Solusinya sekarang kalau ke CFD fokusnya saya geser bukan lagi untuk berolahraga, tapi buat jalan santai sambil nyari jajanan. Itung-itung bantu UKM. Sama ya ternyata kebanyakan orang, sarapan for the win! :))
LikeLiked by 1 person
Haha..betul, cari sarapan dan jajanan
Kelar olaharaga dan joging cari sarapannya juga di CFD 🙂
LikeLiked by 1 person