Hujan akhirnya mereda saat kereta api yang saya tumpangi berhenti di Stasiun Leiden Centraal. Langit masih sedikit gelap dengan rintik-rintik yang tertiup pelan oleh angin.

Sejujurnya saya tidak punya tujuan khusus ke Leiden, kota kecil berpenduduk seratusan ribu orang dan berjarak hanya 37 kilometer dari Amsterdam, ibukota Belanda. Sudah sejak lama saya berhenti menargetkan jumlah tempat yang harus disambangi saat melipir ke suatu daerah. Seiring berjalannya waktu, saya lebih menikmati suasana dan pengalaman yang ditawarkan oleh suatu lokasi, tanpa melihat popularitasnya di mata pelancong.

Namun, tentu saja tetap ada yang ingin saya lakukan di kota ini. Dua hal di antaranya adalah mendatangi makam Snouck Hurgronje -seorang orientalis dan penasehat urusan pribumi pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berperan penting dalam penaklukan Kerajaan Aceh-, serta mewujudkan keinginan mencicipi satu kedai es krim di Leiden yang sejak lama direkomendasikan oleh seorang teman.
“Pokoknya kalau lo main ke Leiden, lo harus nyicip yang namanya Roberto’s Ice Cream. Murah, cuma 1 euro-an. Tapi rasanya enak banget! Coba deh. Lo kan suka yang murah-murah. Ingat ya, cobain rasa bloedsinaasappel. Blood orange. The best one.”
Kata-kata teman saya terngiang di telinga saat saya melangkah keluar peron menuju lobi. Sekalipun awan kelabu masih menggelayut di langit, lobi Leiden Centraal terlihat cukup benderang. Dinding utama lobi stasiun ini didesain menggunakan kaca tembus cahaya dengan rangka baja silinder bercat putih sebagai penopang bangunan. Sekilas mengingatkan pada desain bandara yang umum di negara kita.

Jalanan beraspal hitam di depan Leiden Centraal saat itu tidak terlalu ramai. Beberapa langkah keluar stasiun terdapat jalur tram yang melintas setiap beberapa menit. Dan karena saya sedang berada di Belanda, tentu saja jalanannya juga penuh dengan pejalan kaki dan orang-orang bersepeda yang seolah tidak terpengaruh dengan gerimis dan angin.

Bermodalkan payung lipat seharga 2 euro serta buklet Leiden City Guide gratisan yang saya dapatkan dari Visitor Information Center, saya bertekad menuju Roberto’s Ice Cream. Kios tersebut ternyata hanya berjarak 1,5 kilometer dari stasiun dan dapat dicapai dengan berjalan kaki selama 15 menit menelusuri kota.

TENTANG LEIDEN
Sama seperti umumnya kota-kota di Belanda, Leiden juga dipenuhi kanal-kanal yang mengular di penjurunya. Perahu-perahu kecil yang menjadi alat transportasi bersandar di tepi kanal menanti penumpang.


Beberapa kali saya harus melintasi jembatan untuk menyeberangi kanal. Pembatas jalan dan jembatan dicat putih, kelabu, atau hijau tua. Di beberapa titik, pembatas tersebut dipasangi pot berbunga warna-warni, memberi sentuhan berbeda di tengah cuaca kelabu siang itu.

Parkir-parkir sepeda mudah sekali dijumpai. Umumnya penuh dengan sepeda-sepeda yang bertumpuk. Yang menarik, rata-rata sepeda di sini bermodel ontel yang sederhana. Jarang sekali saya melihat sepeda bertipe racing, freestyle, atau sepeda-sepeda fancy dan mahal lainnya yang sering kita temukan di Indonesia.

Jalanan dan trotoar rapi dengan lalu-lintas yang tidak terlalu ramai membuat berjalan kaki menjadi aktivitas yang menyenangkan di sini. Bangunan-bangunan berdinding bata merah bersusun di sepanjang jalan. Tiang lampu jalan bermodel klasik terpasang dalam interval yang teratur di sepanjang trotoar, menambah kemolekan kota ini.

Leiden memang cantik, dan rasanya paling tepat jika dijelajahi bersama orang yang disayangi.

ROBERTO’S ICE CREAM
15 menit berlalu, saya akhirnya sampai di tengah kota.
Jembatan Koornbrug -atau jembatan gandum-, salah satu landmark kota Leiden, berdiri tepat di depan mata. Didirikan pada tahun 1642, jembatan berpilar ini selama ratusan tahun menjadi tempat memperdagangkan gandum. Sekarang, meskipun tidak lagi digunakan untuk perdagangan, keberadaannya masih melengkapi keindahan lansekap pusat kota Leiden.

Saya teruskan langkah, lalu berbelok ke kanan jalan selepas persimpangan.
Here it is! Roberto’s Ice Cream. Kedai es krim yang dicari-cari.

Meskipun terselip di antara kedai pecah belah dan studio foto, Roberto’s Ice Cream tidaklah sukar ditemukan.
Berada persis di seberang Town Hall, kedai ini dapat segera dikenali dari kejauhan berkat pajangan es krim raksasa yang dipasang di depannya. Di samping pajangan tersebut berdiri satu papan tulis kayu dengan nama-nama menu hari itu ditulis dengan kapur putih. Beberapa meja dan kursi kayu disusun di depan kedai.

Saya mendorong gagang pintu lalu masuk ke dalam ruangan kedai yang tidak terlalu besar. Tidak ada pengunjung lain di sana.

“Hello, there!”
Satu suara terdengar menyapa saat saya memasuki ruangan. Di pojok kiri kedai, seorang pria berdiri di belakang meja kasir. Berkulit coklat, berambut hitam, dan mengenakan jaket olahraga biru muda, saya tebak, dia adalah Roberto, si empunya kedai.

“Silakan, kita punya banyak rasa baru hari ini,” Roberto tersenyum sambil menunjuk ke etalase es krim di tengah ruangan.
Wadah-wadah alumunium penuh berisi es krim aneka warna tersusun di sana. Menggiurkan. Di atas etalase terdapat dua buah ember hijau berisi sendok es krim dan sebuah ember hijau lainnya berisi tisu kertas.

Ruangan kedai itu penuh dengan ornamen Brazil. Dindingnya dicat kuning dan putih. Beberapa bendera Brazil terpasang di dinding. Seolah melengkapi nuansa Brazil, beberapa lukisan burung tropis juga dipajang. Di dinding belakang toko bertumpuk puluhan cup es krim, semuanya bercorak bendera Brazil dengan lagi-lagi warna hijau yang mencolok. Dua lampu disko dipasang di langit-langit sebagai pelengkap.

Di dinding kanan terdapat papan tulis yang bertuliskan menu dan harga hari itu: 1.25 euro untuk satu skop es krim. Karena cuaca yang gerimis dan mendung, hari itu kedai ini menyediakan waffle hangat yang juga bisa disantap bersama es krim.
Saya kebingungan, tak tahu harus memilih es krim yang mana.
“Menu yang paling laris di sini apa ya?” saya bertanya ke Roberto.
“Saya berencana mencoba beberapa rasa, tapi ga punya ide harus mulai dari rasa apa dulu” sambung saya sambil nyengir.
“Hahaha,” Roberto tertawa.
“We have plenty of flavours,” jawabnya. “Saya sarankan mencoba bloedsinaasappel, our signature flavor.” Roberto menunjuk ke wadah berisi es krim berwarna oranye kemerahan.
“Okay, can I have one scoop, please!” saya menyetujui pilihan Roberto, lalu memesan 1 skop dengan wadah cone.
Roberto segera membuka etalase, lalu mengambilkan es krim pilihan saya.

Teman saya benar. Es krim bloedsinaasappel atau red orange ini memang punya cita rasa sendiri. Sedikit asam tapi segar. Ada perpaduan manisnya jeruk dan buah beri, tapi dengan sedikit rasa pahit yang menyerupai obat. Menarik.
Beberapa menit selanjutnya saya habiskan dengan mencoba beberapa rasa lain sambil ngobrol dengan si pemilik kedai.
Roberto ternyata adalah seorang imigran asal Brazil, dan sudah berjualan es krim sejak beberapa tahun lalu. Ia berani menjamin harga es krim di kiosnya adalah yang termurah se-Leiden untuk cita rasa seenak itu. Saya teringat ucapan teman saya yang menginfokan hal serupa.

Roberto adalah jenis penjual yang ramah. Dengan bersemangat, ia menjelaskan pilihan rasa es krim yang ia jual. Selain red orange, ia juga menjual es krim rasa hazelnut, smurf, strawberry cheese cake, raspberry, banana, chocomint, blueberry cheese cake, mango sorbet, zeeuwse bolus, dan yoghurt limoncello. Tersedia juga es krim lactose-free bagi konsumen vegan.
Sambil bercerita, Roberto menyodorkan sedikit es krim untuk dicoba. “Gratisan, untuk promosi,” ujarnya sambil tertawa.
Saya putuskan untuk memesan satu rasa lagi. Kali ini Tiramisu, dalam wadah cup.

Selepas membayar, saya lalu keluar dari kios. Berniat menikmati es krim sambil memandangi jalanan di pusat kota Leiden.
PEREMPUAN TUA BERNAMA TESS
Saya berdiri di depan kios Roberto, memandangi Town Hall di seberang jalan. Kali ini pintunya terbuka. Sekumpulan orang tampak berkerumun di sana. Sepertinya sedang ada pernikahan.

Saya tengah berkonsentrasi menyuap es krim ketika menyadari ada seorang nenek berdiri di dekat saya.
Ia sedang merokok. Rambutnya coklat keputihan dengan potongan membulat. Sweater wol tebal abu-abu membalut tubuhnya yang sedikit membungkuk. Tangan kanannya memegang payung merah jambu yang terbuka dan disandarkan ke dada kanannya.
“Lucky you’re here at the weekend. The stall usually closed on Monday,” tiba-tiba ia mengawali obrolan sambil terkekeh.
“Hah?” Saya sedikit kaget disapa olehnya. Jarang sekali saya jumpai bule yang mengawali pembicaraan basa-basi dengan pendatang.
Mencoba bersikap sopan, saya lalu menanggapi. Kami kemudian bercakap-cakap sambil menyaksikan orang berlalu-lalang di jalanan yang masih basah.

Namanya Tess. Usianya 75 tahun. Suaminya sudah meninggal, sementara anak perempuannya tinggal di Utrecht, sebuah kota di tenggara Leiden.
Kami mengawali obrolan dengan membahas kios es krim Roberto.
Menurut Tess, di musim panas, saat cuaca terik, beberapa payung akan dipasang sebagai peneduh meja dan kursi-kursi di depan kios. Suasana akan lebih riuh dengan orang-orang bercengkerama di kursi, bersisian dengan orang-orang yang antri.
Antriannya sendiri bisa memanjang hingga ke jalanan. Namun, tambahnya, Roberto cukup sigap melayani pembeli. Tidak ada konsumen yang menunggu terlalu lama untuk mendapatkan es krimnya. Tess sudah lama menjadi pelanggan tetap di sana.

Obrolan ngalor-ngidul kami bermuara ke satu pertanyaan.
“Where do you come from?” ujar Tess, setelah beberapa saat berbincang. Tangannya melemparkan puntung rokoknya ke tong sampah kecil di depan studio foto.
“Indonesia.” jawab saya pendek sambil melempar cup es krim yang telah habis ke dalam tong sampah yang sama.
“Oh, seriously?” ujar Tess, seakan tak percaya.
“Yeah, have you been there?” saya balik bertanya, memasukkan kedua tangan ke saku jaket supaya tidak menjadi sasaran angin dingin yang bertiup.
“I was born in Jakarta and lived in Indonesia for ten years.”, Tess menjawab pertanyaan saya pelan.
Entah kenapa saya tidak terkejut. Pertemuan saya dengan Tess mengingatkan saya pada joke seorang teman yang tinggal di Belanda selama beberapa tahun. Katanya, jika mengunjungi Belanda, akan selalu ada kemungkinan bertemu dengan salah satu di antara tiga; Orang Indonesia, Keturunan Indonesia, atau Orang Belanda yang (dia atau anggota keluarganya) pernah tinggal di Indonesia.
Lelucon teman saya terbukti adanya.
Tess tiba-tiba terlihat bersemangat untuk bercerita, sehingga saya memilih untuk diam dan mendengarkan.
Tess mengaku, ia terlahir di Jakarta pada medio 40-an dari keluarga Belanda yang telah lama tinggal di Indonesia. Saat berumur 2 tahun, ia dan Ibunya harus pindah ke Aceh mengikuti ayahnya yang bekerja di perusahaan minyak Exxon yang tengah mengembangkan eksplorasi ke area tersebut.
Kepindahan mereka tidak diikuti oleh nenek Tess yang memilih tetap tinggal di Depok, Jakarta, bersama beberapa kolega Belanda.
Dua tahun selepas kepindahan mereka ke Aceh, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya.

“Saya kira semua akan baik-baik saja, tapi ternyata saya salah,” Tess berkata sambil menatap saya. Kantong matanya terlihat jelas, menyiratkan usia.
“Tahun-tahun berikutnya adalah masa-masa suram buat orang Belanda di Jakarta,” ia melanjutkan cerita. “Kau tahu kenapa?” tanyanya kepada saya.
“Err.. karena kami memproklamasikan kemerdekaan dan itu artinya Belanda harus pergi?” jawab saya sekenanya. Tidak yakin.
“Suram, karena sesudah Indonesia merdeka, penduduk dan tentara melakukan pembantaian terhadap orang Belanda di mana-mana. Di Depok salah satunya.” Tess bergumam.
“What do you mean?” Saya mengernyit.
Saya tidak pernah mendengar soal pembantaian itu dalam pelajaran sejarah di sekolah dulu. Tapi saya juga tidak yakin. Pelajaran sejarah di sekolah tidak pernah memuat pembantaian ratusan ribu warga yang dituduh PKI pada tahun 60-an tapi tetap saja hal itu tidak menghilangkan fakta bahwa pembantaian itu benar terjadi. Jadi, bisa saja apa yang diceritakan Tess adalah fakta tak tercatat atau sengaja tidak dicatat, pikir saya.
Tess tersenyum.
“Cukup dimengerti bila pemerintah negara kalian menyembunyikan hal itu. Sudah berlalu. Saya juga tidak menyalahkanmu,” ujarnya.
“Hanya saja kita sedang bercerita tentang masa lalu saya di Indonesia. Dan kebetulan peristiwa buruk menimpa nenek saya di Depok. Ia beruntung bisa melarikan diri bersama serombongan teman, lalu kembali ke Rotterdam dengan kapal dagang. Tapi tidak demikian dengan koleganya yang lain. Banyak diantara mereka yang dibunuh dalam peristiwa itu. Entahlah..”
Tess diam sesaat, lalu menengadah ke langit. Gerimis belum berhenti.
“Sesudah keadaan aman, orangtua saya memutuskan kembali ke Belanda. Kami bertiga berhasil kembali ke sini, tanpa sempat kembali ke Jakarta terlebih dahulu. Saya berumur 10 tahun waktu itu.” Tess terdiam lagi sebelum melanjutkan.
“Saya cinta negara itu. Saya punya banyak kenangan manis di sana. Hanya saja, nenek saya punya kenangan pahit di sana. Kenangan yang tak mudah ia lupa.”
Saya diam, tak tahu harus bereaksi apa. Saya belum terbiasa menemui bule yang berbagi cerita personal dengan saya. Biasanya di negara-negara Barat, hal-hal berbau politik dan semacamnya selalu tabu dibicarakan dengan orang yang baru dikenal.
Tess sama sekali tidak menghakimi Indonesia sebagai bangsa pembantai. Ia sendiri juga paham posisi negaranya yang pernah menjadi penjajah, yang boleh jadi juga sama kejamnya.
“I hate wars.” kalimat pendek tadi spontan terucap dari mulut saya.
Tess berpaling. “Everybody does.” katanya sambil tersenyum.
Ia mengakhiri ceritanya lalu berpamitan. Sambil merapikan posisi payungnya, Tess berjalan pelan ke arah jembatan Koornbrug.

FRAGMEN KELAM SEJARAH REPUBLIK
Perlahan saya raih handphone dari dalam saku, lalu mengetikkan “pembantaian Belanda di awal kemerdekaan” di mesin pencari.
Semua hasil pencarian merujuk ke satu sebutan: Masa Bersiap.
Belasan menit berikutnya saya habiskan untuk membaca tragedi mengerikan itu. Tragedi pembantaian yang disurukkan oleh pemerintah Indonesia dari pengetahuan warga negaranya.

Masa-masa penuh darah itu berlangsung dari tahun 1945 hingga 1947. Di saat itu, pemuda-pemuda yang tengah dilanda euphoria kemerdekaan melumatkan dendam kepada penjajah dengan menghabisi semua yang berbau Belanda. Tak hanya di Jakarta, kekejaman itu menular ke banyak kota di seluruh Jawa.
Pembantaian itu digambarkan sangat biadab.
Sebanyak 3500 warga Belanda berdarah campur Indonesia-Eropa ditangkap, diinterogasi, lalu dibunuh secara sadis dengan golok dan bambu runcing.

Sekitar 4000 perempuan dan anak-anak Belanda dibiarkan terlantar menderita kelaparan, penyakit, dan kelelahan. Sebanyak 16.000 warga Belanda dikabarkan hilang, termasuk warga Tionghoa yang berkewarganegaraan Belanda. Jasad mereka hingga kini tidak pernah ditemukan.
Catatan sejarah di Belanda menyebutkan jumlah korban saat itu mencapai lebih dari 20.000 jiwa.
Saya bergidik.

Negara kita tak sesuci yang kita bayangkan. Perjuangan merebut kemerdekaan ternyata tak semulia yang dikumandangkan. Ada fragmen kelam yang dihilangkan dalam cerita sejarah di sekolah-sekolah. Entah untuk tujuan apa.
Saya simpan kembali handphone ke dalam saku celana lalu melangkah meninggalkan kios es krim Roberto.
Ada perasaan dingin yang tiba-tiba menelisik, dibalut kesadaran bahwa selalu ada dua sudut pandang atas suatu peristiwa: Sudut pandang pelaku dan sudut pandang korban.
Sore sudah menjelang. Saatnya pulang.
Wah, salam kenal. Tulisannya bagus. Jadi mau ke Roberto juga, tapi kayaknya kalau winter bakalan tutup. 😦
telat bacanya. hehe
LikeLike
Salam kenal juga, Mbak Adlien. Makasih udah mampir, hehe. Kemungkinan masih buka kali ya, Mbak. Hanya saja mungkin menu wafflenya yang diutamakan. Kayanya sih hehe.
LikeLike
Siapp nanti dicoba weekend ini deh. Leiden emang cantik banget sih. Gak bosenin☺️
Tapi keren ya tulisannya. Saya masih amaze hehe. Terima kasih sudah menuliskannya
LikeLiked by 1 person
Makasih apresiasinya, Mbak Adlien. Mudah-mudahan deskripsi di tulisannya cukup menggambarkan Leiden. Jadi kangen ke sana lagi :)).
Semoga bisa nyicip es krim Roberto juga ya, Mbak. Jangan lupa, blood orange. Hehehe.
Lancar-lancar studinya juga.
LikeLike
nice story. baru tau juga ada cerita kelam macam ini.
btw, senang dengan gaya bertuturmu. senang juga nemu blog yang “sealiran”.
LikeLiked by 1 person
Sepertinya memang sejarah soal masa bersiap ini jarang banget dibahas di Indonesia, entah kenapa.
Makasi banyak apresiasinya, Mas. Masih harus belajar banyak kalau soal menulis, doakan bisa konsisten, hehe.
LikeLike
Ternyata di Leiden Belanda itu banyak kanal dan juga banyak yang pakai sepeda ya. Hebatnya rata rata sepeda di sana bermodel ontel yang sederhana.
Btw, kurasa pelajaran pembantaian di masa bersiap setelah kemerdekaan tak akan di berikan pada pelajaran sekolah, sama seperti kekejaman Jepang di perang dunia kedua juga tak ada di pelajaran sekolah Jepang.
LikeLiked by 1 person
Bener banget, Mas Agus. Rata-rata demen pakai yang ontelan. Mungkin ramai yang bersepeda salah satunya karena sarana dan jalurnya memang sangat tersedia ya.
Terkait sejarah yang disembunyikan, saya rasa mungkin sebagian besar negara melakukannya. Karena bagaimanapun sejarah ditulis oleh pemenang, jadi bagian-bagian yang dianggap “meresahkan” bisa jadi dibuang, mungkin dengan beberapa pertimbangan.
Makasih sudah mampir dan membaca tulisannya, Mas. Btw blog review2 filmnya cukup beragam ya film yang dibahas. Saya nemu Ernesto’s manifesto tadi, dulu pernah nonton juga itu film. Tapi tadi saya coba subscribe blognya vie email kok ga bisa ya mas?
LikeLike
Waktu baca bagian pertemuan dengan Tess saya tertegun, Mas. Tapi sepertinya memang makna sejarah nggak akan sampai jika kita cuma melihat satu sumber saja. Karena, seperti yang Mas Ikhwan bilang, selalu ada dua sudut pandang atas suatu peristiwa.
LikeLiked by 1 person
Karena History adalah His-Story mungkin ya. Pemenang a.k.a Penguasa adalah mereka yang menentukan jalannya sejarah. Jadi memang harus balik ke kitanya lagi buat mereviunya dari sudut padang berbeda.
LikeLiked by 1 person
Sejarah-sejarah kecil masih kurang banyak beredar juga kayaknya ya, Mas? Di katalog-katalog pun masih nyempil banget, dan kitalah yang mesti punya rasa ingin tahu untuk mencarinya.
LikeLiked by 1 person
Bener mas, kadang fakta-fakta sejarah gitu jatuhnya cuma jadi trivia aja karena ga terlalu dianggap penting, hehe.
LikeLiked by 1 person
Cerita yang manis tentang peristiwa yang pahit, Uda 🙂
dan perang hanya akan menyisakan luka….
LikeLiked by 1 person
Ternyata banyak juga sisi sejarah kita yang disembunyikan ya. Semoga tak terulang.
LikeLiked by 1 person
Betul
LikeLiked by 1 person
“Lo kan suka yang murah-murah.”
Haha ini siapa sih? jadi pengen temenan juga sama dia haha. Kebayang dapetin informasi kece tapi dengan budget terbatas hwhw.
Bergidik juga pas baca korban sampe 20 ribu jiwa, haa itu orang semua 😦
LikeLiked by 1 person
Hahaha murah adalah koentji 😀
LikeLike