Bus yang membawa saya melaju pelan. Saya baru saja meninggalkan Stasiun Pontorson, satu-satunya stasiun kereta di kota kecil bernama serupa.

Siang itu cerah. Bus ber-deck rendah ini merupakan shuttle bus yang akan membawa saya ke salah satu tempat wisata utama di Normandy, Prancis Barat: Sebuah pulau berbentuk bukit kecil bernama Mont Saint Michel yang telah ditetapkan menjadi situs warisan dunia oleh UNESCO.


Dengan jumlah kunjungan wisatawan mencapai 3 juta orang per tahunnya, Mont Saint Michel berada di urutan tiga tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi di Prancis. Keberhasilan meraih posisi tersebut sebenarnya cukup mengagumkan mengingat Mont Saint Michel sama sekali tidak berlokasi di daerah yang mudah dicapai.
Berjarak sekitar 250 km dari Paris, Mont Saint Michel bisa didatangi dengan menggunakan kereta ke kota-kota kecil di dekatnya, kemudian dilanjutkan dengan shuttle bus menuju ke pulau tersebut.
Kota yang saya pilih sebagai tempat transit adalah Pontorson. Hanya butuh 15 menit dari kota ini untuk menuju ke Mont Saint Michel. Begitu keluar dari stasiun kereta, calon pengunjung dapat langsung menaiki shuttle bus yang beroperasi dengan jadwal tertentu setiap harinya.

Bus terus melaju keluar Pontorson, melewati hamparan padang rumput hijau kecoklatan di kiri dan kanan jalan. Sesekali terlihat kawanan ternak yang sedang merumput dilatarbelakangi kincir angin dan lumbung-lumbung pertanian.

Semakin lama, padang rumput luas tadi mulai berganti dengan kawasan pantai dengan bentangan pasir kelabu. Perlahan, Mont Saint Michel mulai terlihat di balik kaca depan bus yang saya naiki.

Sekalipun dari kejauhan, kesan mengagumkan tidak dapat terelakkan.

Pulau berbentuk bukit ini –berikut biara dan gereja di puncak, serta rumah dan bangunan-bangunan bergaya abad pertengahan yang menempel di sekeliling bukit dan menciptakan siluet kerucut- telah menjadi inspirasi beragam budaya pop di seluruh dunia.
Anda pernah menonton film animasi Disney berjudul Tangled? Nah, desain kastil negeri Corona dalam film itu didasarkan pada bentuk Mont Saint Michel ini.
Selain itu, Peter Jackson, sutradara film kolosal the Lord of the Rings, juga menjadikan bangunan ini sebagai inspirasi dari kota Minas Tirith dalam seri tersebut.

Lantas, apa sih sebenarnya daya tarik pulau ini?
AWAL MULA MONT SAINT MICHEL
Mont Saint Michel atau Mount Saint Michael sejatinya merupakan tempat ziarah kristiani di Normandy, Prancis Barat, yang sudah ada sejak abad ke-8.
Menurut legenda, pada tahun 709, Michel (dalam Bahasa Inggris disebut Michael dan dalam Bahasa Arab disebut Mika’il), salah satu malaikat Tuhan yang utama, berulang kali menampakkan diri kepada Uskup Avranches bernama Saint Aubert melalui mimpi.
Uskup tersebut diperintah untuk membangun biara di puncak bukit kecil di hutan Scissy, di pesisir pantai Normandy. Ia patuh, lalu kemudian mendirikan biara kecil di tempat tersebut.

Perubahan cuaca selama ratusan tahun membuat bukit Saint Michel lama-kelamaan digenangi air laut sehingga berubah menjadi sebuah pulau yang terpisah dari daratan utama.
Lambat laun, biarawan berdatangan ke pulau ini untuk bermeditasi. Saat itu, mencapai lokasi biara di puncak bukit yang dikelilingi laut tersebut bukanlah hal mudah. Biarawan harus berperahu menembus lautan yang acapkali ditutupi kabut tebal dan dihantam ombak besar.
Begitu mendarat di pulau pun mereka harus tetap berhati-hati melangkah agar tidak terjebak lumpur dan pasir hisap yang banyak terdapat di pantai sekeliling pulau.
Sejak tahun 1020, para biarawan yang datang mulai membangun gereja berdekatan dengan biara kecil yang dibangun Saint Aubert. Pondasi gereja ini berada di ketinggian 70 meter dari permukaan laut.
Saat ini, wisatawan yang ingin menyambangi Mont Saint Michel tidak lagi perlu menyeberang dengan perahu. Sudah tersedia jembatan yang menghubungkan pulau dengan daratan utama serta akses transportasi berupa bus umum untuk kembali ke kota terdekat.

Tidak hanya Prancis, negara kecil Singapura ternyata juga menyimpan wisata reliji antimainstream di sudut kotanya. Anda bisa membaca ulasannya di sini.
Bus yang saya tumpangi berhenti di halte terakhir, sekitar 50 meter dari pulau. Dari sini penumpang harus turun dan berjalan kaki ke Mont Saint Michel.
Saya memilih untuk melihat-lihat pantai di sekeliling pulau terlebih dahulu.

Rupanya tidak ada yang istimewa. Saat itu air laut sedang surut sehingga pasir pantai yang bercampur lumpur terlihat jelas, menyisakan warna abu-abu kehitaman di seantero pantai. Beberapa pengunjung terlihat berbincang di pantai sambil menikmati angin, deru ombak, dan kicauan camar yang sesekali mengangkasa.
Setelah puas, saya teruskan perjalanan menuju Mont Saint Michel.
Selayaknya benteng, dasar bukit ini dikelilingi tembok dengan satu gerbang utama yang merupakan akses untuk masuk ke bukit dan menjelajahi pulau.

Ada beberapa anak tangga kayu yang dapat dilalui untuk menuju pelataran batu yang berujung pada gerbang desa. Dengan dua daun pintu yang terbuat dari kayu tebal, gerbang desa ini langsung memberikan kesan abad pertengahan saat pertama kali terlihat.
Tidak lama setelah berjalan melewati gerbang, saya sudah berada di lorong utama Mont Saint Michel yang dikenal dengan nama the Grand Rue. Rumah-rumah nelayan dan petani, toko-toko cenderamata, kafe, penginapan, dan restoran, berdempetan di kedua sisi lorong.


Di siang hingga sore hari kawasan ini penuh sesak dijejali wisatawan. Namun, saat malam menjelang, lorong-lorong ini akan kembali sepi, menyisakan sekitar 50 warga yang benar-benar menetap setiap harinya di pulau ini.

Saat menyusuri lorong-lorong panjang di Mont Saint Michel, kita seperti dilempar kembali ke abad pertengahan. Jalanan batu sempit yang menanjak mengular melewati rumah-rumah batu berjendela kayu dengan ornamen kayu bersilangan di lantai atasnya.

Di depan hampir setiap toko bergelantungan papan nama khas berwarna warni. Semua bangunan tadi mempertahankan bentuk aslinya, menciptakan sensasi mesin waktu yang membuat kita bisa membayangkan suasana tempat ini pada masa lampau.
Semakin menjauhi desa dan mendekati puncak, area komersial dan keramaian semakin berkurang.
Di penghujung lorong, terdapat satu gereja kecil yang sepi. Saya sempatkan untuk masuk. Bagian dalam gereja hanya diterangi oleh gelas-gelas lilin dan sedikit cahaya yang menembus jendela kaca berornamen. Sebuah lampu hias tergantung di langit-langit melengkung. Di sudut ruangan, dua orang terlihat berdoa di dekat kapel, lirih dan khusyuk.
Tak lama, saya keluar, melanjutkan perjalanan.
Beberapa jauh melangkah, saya menengadah, melirik ke arah puncak bukit. Bangunan biara dan gereja terlihat menjulang ke angkasa, berlatar langit biru.

Saya berhenti sejenak, mengambil beberapa foto untuk merekam bangunan kokoh di depan mata. Saya cukup terkesan membayangkan metode konstruksi dan peralatan sederhana yang mereka gunakan pada zaman itu sudah mampu menghasilkan bangunan-bangunan luar biasa di pulau berjuluk La Merveille -Yang Mengagumkan- ini.
Jalan batu yang tadi saya lalui berakhir di sebuah tangga besar menuju biara.
Sisi kanan tangga adalah dinding batu tinggi, sementara di sisi kanan terdapat sebuah pagar batu sepinggang. Melempar pandangan ke arah kiri, saya bisa menyaksikan horizon pantai di sekeliling pulau. Tiupan angin mulai terasa kencang di sekitar sini.
Saya naiki anak tangga, menuju aula depan biara.
Untuk dapat menjelajahi biara dan gereja utama, pengunjung terlebih dahulu harus membeli tiket di sini. Tersedia juga pemandu bagi yang ingin memperoleh informasi lebih lengkap tentang Mont Saint Michel. Setelah memiliki tiket, pengunjung dapat langsung memasuki biara.

Biara Saint Michel pada abad pertengahan berfungsi sebagai ‘sekolah’ bagi para biarawan untuk mendalami agama. Di sini, sejak matahari terbit hingga terbenam, seluruh biarawan melaksanakan bermacam kegiatan seperti berdoa 7 kali sehari, makan tanpa bicara, membaca buku di perpustakaan yang didirikan sejak abad 11, menyalin dan menghiasi kitab dengan lukisan, membersihkan biara, serta bermeditasi. Biarawan diizinkan beristirahat di lorong-lorong biara pada sore hari.
Selain fungsi utama tersebut, biara juga berfungsi sebagai penginapan bagi para pengelana, rumah sakit, dan tempat pengungsian bagi gelandangan dan orang miskin.
Biara Saint Michel dibangun dengan gaya gotik yang pekat, dengan puncak bangunan meruncing dan langit-langit melengkung. Dapur dan ruang penyimpanan berada di tingkat paling bawah. Di lantai ini juga terdapat ruangan tempat biarawan membagikan makanan dan sedekah kepada orang miskin yang datang meminta-minta.

Sisi utara biara ini -yang dibangun sejak abad 13- membentuk dinding vertikal yang menjulang 40 meter dari batuan karang di bawahnya.

Di lantai dua terdapat ruang pertemuan, dan ruang menulis, sementara di lantai tiga yang terbuka ke arah gereja terdapat ruang makan dan asrama biarawan.
Di bagian atas ini juga terdapat sebuah taman di tengah-tengah koridor berpilar. Mengingatkan pada koridor-koridor kastil di Inggris yang sering muncul dalam film Harry Potter.

Di bagian puncak terdapat gereja utama dengan langit-langit tinggi dan pilar-pilar batu. Dominasi warna kelabu dan coklat mewarnai ruangan gereja ini.

Puas berkeliling, saya menyempatkan diri melepas pandang ke area terbuka di puncak biara. Di sini pengunjung bisa menikmati pemandangan 360° ke area sekeliling Mont Saint Michel.


Sejauh mata memandang, tersaji pantai dan lautan. Jalanan, jembatan penghubung ke pulau, serta perhentian bus juga bisa disaksikan dari sini.


Tidak terasa, gelap menjelang.
Saya dan pengunjung lainnya perlahan mulai berjalan meninggalkan puncak bukit dan kembali menyusuri lorong-lorong menuju desa di bawah. Kaki harus terus melangkah menyeberangi jembatan hingga ke halte bus, di mana bus yang akan membawa kami kembali ke kota berada.

Seiring senja, lampu-lampu di seluruh bukit mulai menyala, menyebarkan warna kuning ke bangunan di sekitarnya. Beberapa kafe dan restoran sudah tutup, sementara penjaga toko-toko juga bersiap membereskan barang dagangannya.



Sejumlah lampu sorot diarahkan ke biara, memastikan bangunan utama tersebut tetap terlihat dari kejauhan, meskipun gelap menyelimuti.


Di malam hari, Mont Saint Michel akan kembali sepi.
Sepi yang sesekali ditimpali debur ombak dan suara angin yang bertiup menyusuri jalanan kosong.
Kesunyian yang sama, seperti ratusan tahun sebelumnya, saat Saint Aubert pertama kali berkunjung, bertekad membangun biara dan berhasil mewujudkan impiannya.
Baru ngeh di Tangled nama negerinya itu Corona muahaha ya ampun.
Soal Mont Saint Michel ini kalau beli buku fotografi-travel hampir selalu ada. Bahkan aku ada satu buku yang menjadikan tempat ini sebagai kavernya.
LikeLiked by 1 person
Iya ya. Sekarang bawaannya parno kalo denger istilah Corona, padahal dulu waktu filmnya dirilis kita bahkan ga terlalu perhatian sama nama kerajaannya ya. :))
Mungkin yang bikin Saint Michel cukup sering “dieksploitasi” di berbagai merchandise karena lokasinya yang cukup unik ya. Nemplok sendiri di satu pulau. Beda sama lokasi kastil-kastil lain pada umumnya hehe.
LikeLiked by 1 person
Entah kenapa suka iseng nebak gimana cara baca nama-nama kota di Prancis, apalagi kalo akhiran -n kan suka dibaca jadi -ng hehe.. Dan -s jadi -h, berasa sedikit bahasa Minang hehehe…
LikeLiked by 1 person
Haha kalau saya lebih sering ngasal ngebacanya, soalnya ga ada basic bahasa prancis sama sekali mas haha. Bacanya kaya kumur-kumur gitu :))
LikeLiked by 1 person
Sama sih da hehe…
LikeLiked by 1 person