Ada sebuah rumah di tengah ladang. Dahulu, dindingnya disusun dari papan. Lalu suatu waktu, berganti batu bata.
Sejak saat itu, rumahnya menggelembung. Atapnya membumbung. Mengejar angkasa. Mencolok bagai raksasa.
Pondasinya menancap dalam. Lantainya mengkilap bak pualam.
Atapnya dari genteng pilihan, yang dicetak satu demi satu, dengan tangan, oleh petani desa yang bahagia meski tak cukup makan.
Suatu siang, Pemilik Rumah meraih sebilah papan, lalu dipasangnya di atas pintu, menutupi sebagian ventilasi. Diambilnya kapur, lalu diukirnya papan tadi.
Mimpi.
Kata pendek itu ditulisnya di sana.
Begitulah sejak saat itu Pemilik Rumah menamai harta satu-satunya; bangunan itu.
Selang berlalu, kala langit merah darah, Sang Waktu melempar dadunya di atas kepala Pemilik Rumah.
Si Pemilik Rumah kemudian memutuskan pergi, meninggalkan dinding bata jingga yang diharapnya akan bercat putih suatu hari.
Lalu masa berkelebat, menyisakan detik yang siap membebat.
Pemilik Rumah tersadar. Mulanya Ia menyangka, dadu Sang Waktu hanyalah sepele, yang takkan membuatnya kecele.
Terbukti dirinya salah. Ia lemah. Atau melemah?
Dari tujuh ratus bintang yang dilihatnya malam itu, selepas 30 kali bumi menjenguk matahari, tak satupun yang menunjuk ke arah pulang. Ia rindu rumah tuanya.
Pemilik Rumah sadar ia tersesat. Dalam pusaran teriakan umat.
“Rumahmu tak penting!” kata satu teman.
“Mungkin malah sudah rubuh sekarang,” ujar dia yang mengaku sahabat.
Panik, Pemilik Rumah berlari ke kekasihnya, hanya untuk mendengar titah:
“Berhentilah mencari! Belilah rumah yang baru, lalu tinggallah di sana, bersamaku.”
Kemudian muhajat bersembur ludah dan sumpah serapah tak berkesudahan meluluhkan Pemilik Rumah. Ia menyerah, memilih tinggal di kota, di rumah baru yang dari dalamnya Ia bisa mendengar celotehan tetangga.
Tapi Sang Waktu memang suka bercanda. Pemilik Rumah tak bisa lupa pada rumah lamanya. Pada deretan bata, pada loteng sederhana, juga pada papan kayu yang mulai miring, nyaris lepas dari tempat terpasangnya.
Ia yakin, rumah itu masih di sana. Berdiri. Sendiri. Melewati ribuan hari.
Mungkin dindingnya sudah berlumut. Bisa jadi batanya penuh lubang yang jadi sarang semut.
Ladangnya?
Ah, Pemilik Rumah sudah rela, pasti sudah tidak ada. Berganti semak belukar dan hutan belantara.
Tapi, pikir panjangnya berujung sia-sia.
Sudahlah, putusnya, akhirnya: Mengaku kalah adalah kepastian, bukan lagi pilihan.
Mari simpan saja rumah kecil itu di kepala, biarkan bersembunyi di sudut gelap kenangan. Menanti keterhapusan, pelan-pelan dikubur tanpa nisan.
Pemilik Rumah menyerah.
Sementara di luar sana, dinding bata rumah tua perlahan terlepas,
satu demi satu.
Bagus mas puisi panjangnya, kalo boleh saya bilang begitu 🙂
LikeLiked by 1 person
Ini dulu saya tulis sebenernya jadi semacam metafor untuk banyak mimpi-mimpi yang akhirnya terlupakan dan tak berhasil diwujudkan, mas.
Awal-awalnya sangat naif dalam bermimpi, lalu seiring pertambahan usia, pengaruh lingkungan dan interaksi dengan beragam hal, lambat laun mimpi mimpi itu terpinggirkan.
Mimpi-mimpinya mungkin masih ada di sana, sabar menunggu saat untuk yang tepat untuk akhirnya diwujudkan.
Sayangnya saya sendiri tak bisa menjanjikan ke diri sendiri, kapan masa itu akan tiba. 🙂
LikeLiked by 1 person
Teruslah berusaha dan bermimpi mas, karena mimpi itu adalah rumah bagi mas. Kemanapun pergi akan ada namanya tempat kembali, rumah 🙂
LikeLiked by 1 person
Will do 😀
LikeLiked by 1 person
Siap 🙂
LikeLiked by 2 people
Saya paling suka puisi yang ini, seolah-olah fiksi dan absurd, padahal beranjak dari hal nonfiksi.
Ibu yang meneriaki anaknya anjing juga bagus, paling dramatis melankolis 🙂 Scene-nya nempel di kepala saya…
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, mas. Really appreciate that.
LikeLiked by 1 person
Sama2 uda … Keep writing 🙂
LikeLiked by 1 person