Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan bertajuk Haw Par Villa Singapura. Bagian pertama bisa Anda baca di Haw Par Villa: Wisata Religi Antimainstream di Sudut Singapura (Bagian 1).
Perjalanan saya menjelajah sajian utama di taman Haw Par Villa Singapura, Ten Courts of Hell (10 Penghakiman Neraka), belum selesai. Baru separuh jalan.

Langkah saya terhenti sejenak saat dihadapkan dengan dekorasi pohon yang dipasang di tengah lorong ruang pameran tersebut. Menjulang, bercabang.
Saya sempat mengira replika pohon tersebut hanya tambahan interior tanpa tujuan apa-apa, sampai akhirnya saya alihkan pandang ke arah atas pohon tersebut.
Beberapa tubuh manusia tertancap dengan posisi terbalik di puncaknya.

Darah mengalir dari sela-sela tubuh yang tercabik ditembus ranting setajam pisau. Pencahayaan yang temaram semakin membuat aura kengerian menguar dan merambat di ruang pameran.
Menegaskan kesan bahwa pameran ini bukan atraksi yang cocok buat semua orang.
Saya sempatkan mengambil beberapa foto sebelum kemudian melanjutkan melihat-lihat diorama berikutnya, Penghakiman ke-enam.
Penghakiman ke-Enam (Yama: King Piencheng)
Diorama ini menggambarkan hukuman bagi mereka yang suka menipu, bersumpah serapah, atau menculik orang lain. King Piencheng, sang Yama (Dewa Kematian) pengadilan ini, akan mengganjar mereka dengan cara dilempar ke pohon penuh pisau, seperti diilustrasikan oleh dekorasi pohon yang saya temui tadi.
Digambarkan juga bahwa mereka yang menyimpan dan menggunakan segala hal terkait pornografi, melanggar hukum, serta membuang-buang makanan, akan digergaji tubuhnya hingga terpisah menjadi dua bagian.

Digergaji!
Jika pembuat diorama ini ingin menyampaikan pesan tentang sakit yang terasa saat tubuh digergaji perlahan-lahan sembari darah mengucur keluar badan, saya merasa tujuannya tercapai.
Penghakiman ke-Tujuh (Yama: King Taishan)
Orang yang suka menyebarkan gosip atau yang menyebarkan konflik yang memecah-belah keluarga akan dihukum dengan cara dicabut lidahnya hingga terlepas dari rongga mulut.

Sekali lagi, lidahnya dicabut. Ya, di-ca-but.

Sementara, bagi mereka yang pernah menenggelamkan orang lain di dunia, akan diganjar dengan hukuman serupa. Ditenggelamkan. Hanya saja bukan dalam air, tetapi dalam kolam minyak panas.

Penghakiman ke-Delapan (Yama: King Dushi)
Melawan pada orang tua, membuat masalah dalam keluarga, atau mencontek sewaktu ujian, akan diberi hukuman dengan cara usus pelaku ditarik paksa hingga tercabut dan organ-organ tubuh lainnya ditarik paksa dari tubuhnya.

Sebagian orang mungkin akan berdebat soal pantas tidaknya pelaku ‘kejahatan’ mencontek sewaktu ujian mendapat ganjaran sedemikian rupa. Namun, pameran ini dengan bijaksana tidak membuka ruang debat untuk itu dan fokus pada penggambaran hukuman yang diberikan kepada pelanggar hukum.
Sementara itu, hukuman bagi mereka yang melukai orang lain demi keuntungan pribadi juga tidak kalah mengerikan. Tubuh pelakunya akan dipotong hingga terpisah-pisah menjadi beberapa bagian.

Penghakiman ke-Sembilan (Yama: King Pingdeng)
Merampok, membunuh, dan memperkosa, akan diganjar hukuman potong tangan dan kepala hingga putus. Organ-organ tubuh yang telah terpisah tersebut kemudian dipancangkan pada sula-sula runcing yang berdiri tegak.
Perlahan-lahan, seiring berjalannya waktu, kepala, potongan tangan, dan badan tersebut akan merosot pelan. Lambat, dilumasi darah yang mengalir pelan.

Bagi mereka yang mengabaikan orang tua dan anaknya, akan dihukum dengan cara dihantam berkali-kali hingga tubuhnya hancur.

Penghakiman ke-Sepuluh (Yama: King Zhuanlun)
Penghakiman ini merupakan tahapan terakhir dalam peradilan akhirat. Di sini lah nanti orang-orang yang telah melewati hukuman pada Penghakiman sebelumnya mendapat keputusan akhir tentang kehidupan mereka.
Orang-orang yang telah dihukum tersebut akan diberi minuman berupa satu cangkir teh ajaib yang akan menghapus seluruh ingatan mereka tentang kehidupan mereka sebelumnya.

Sebagai salah satu kebudayaan yang meyakini konsep reinkarnasi, kepercayaan Tiongkok tentang hari akhir yang tersaji dalam bangunan pameran ini ditutup dengan gambaran reinkarnasi manusia. Mereka yang telah melewati proses peradilan akan dikembalikan ke dunia dalam bentuk yang berbeda dengan kehidupan mereka sebelumnya dengan cara memasuki Roda Reinkarnasi.

Sebagian akan dibangkitkan kembali dalam bentuk manusia, sementara lainnya dalam bentuk hewan. Yang terlahir kembali dalam bentuk manusiapun belum tentu hidup kembali dalam kebahagiaan, bisa saja mereka hidup kembali dalam kesusahan. Semua tergantung amalan dalam kehidupan sebelumnya.

Pameran berakhir dengan tuntasnya sajian diorama Penghakiman ke-Sepuluh ini.
Saya berjalan ke arah cahaya, melawan angin yang mengalir dari gerbang di penghujung lorong yang akan membawa kita ke sisi lain dari taman Haw Par Villa.

Saya melangkah keluar lalu menarik nafas sejenak. Menikmati terpaan cahaya matahari dan siraman udara segar setelah beberapa menit terpapar sajian mengerikan dalam pameran tadi.
Lalu, apakah hanya itu keunikan yang ditawarkan Haw Par Villa?
Ternyata tidak.
Di satu sudut taman, terdapat sumur tua yang menjadi tempat permohonan. Caranya, berdirilah membelakangi sumur, lemparkan koin ke dalam sumur lalu berbalik menghadap sumur dan berdoa.


Selain itu, ada hal menarik lain yang saya temui dan menjadi atraksi lain yang ditawarkan Haw Par Villa: patung-patung absurd yang beberapa di antaranya memiliki desain yang belum pernah saya saksikan di tempat lain.

Di bagian tengah taman berdiri pagoda yang berada di tengah kolam. Beberapa anak kura-kura terlihat berenang di air yang coklat namun tanpa sampah.

Di timur laut kolam tersebut, terpasang patung harimau. Lalu di depannya berdiri aneka patung random, mulai dari patung Bali, replika patung Liberty di New York, lalu beberapa patung hewan.

Belum terdengar absurd?
Cobalah berjalan beberapa langkah ke utara dan perhatikan sekeliling Anda.





Entah apa maknanya patung tikus-tikus yang saling bantu ini. Representasi koruptor? Atau lainnya?


Sudut lain tak kalah absurdnya, ada patung ibu menyusui.
Anehnya yang disusui bukan anaknya melainkan seorang nenek yang sepertinya adalah ibunya sendiri. Lalu di mana anaknya si ibu alias cucu si nenek berada? Patungnya ada di samping patung nenek yang asyik menikmati air susu si ibu bayi.



Berkeliling menyaksikan patung-patung di taman ini membuat saya kagum pada imajinasi seniman yang menghasilkan karya-karya absurd ini. Berbagai pertanyaan membuncah. Dari mana mereka mendapatkan inspirasi? Lalu apa makna di balik karya seninya tersebut?



Dan banyak lagi patung-patung absurd lainnya.
Haw Par Villa jelas bukan wisata yang bisa dinikmati semua orang, namun keterusterangannya dalam menyajikan kondisi alam akhirat sesuai ajaran tradisi Tiongkok cukup membukakan mata dan memberikan sensasi berbeda dalam menjelajahi Negara Singa.
Matahari bergerak menepi. Sedikit cerah.
Saya meninggalkan Haw Par Villa dengan pikiran menggelantung.
Jika akhirat versi Tiongkok ternyata mirip atau nyaris sama dengan versi akhirat menurut beberapa kebudayaan dan kepercayaan lain, sepertinya kita memang harus bersepakat bahwa peradilan sesudah kematian itu nyata dan kita sebagai manusia mesti bersiap menghadapinya, suatu saat nanti.

Kali lain Anda mengunjungi Singapura, cobalah menikmati wisata berbeda ini.
Selamat berjalan!
Hukuman no.7 serem euy
Patung Bali, Liberty, gadis menyusui kakek (itu kayaknya kakek2 deh) hehe… Aneh memang…
LikeLiked by 1 person
Eh kakek-kakek ya itu?
Kalau itu patung kakek-kakek, jadinya jadi lebih serem kan ya hahhaa.. Absurd sih emang, sayangnya di patungnya ga ada keterangan maksud patungnya apa sebenernya. Jadi pengunjung bebas menafsirkan sesuai pemahaman masing-masing.
LikeLike
Iya, soalnya pake celana panjang, bukan rok… kayaknya kisah2 di patung di ambil dari mitologi China
LikeLiked by 1 person