Senandika Malam

Perempuan yang Meneriaki Anaknya Anjing

DSC06649

“ANJING KAU!!!”

Teriakan perempuan itu memecah pagi, mendadak memporak-porandakan mimpi. Pikiran saya seketika terjaga, meskipun seluruh indera masih terlalu malas untuk siaga.

Saya paksakan membuka mata. Dengan posisi yang tak juga berangsur, saya julurkan tangan meraih telepon genggam yang biasa saya simpan di bawah kasur.

Angka 07.12 berpendar di layar.

Masih pagi.

Dikuasai malas, saya putuskan kembali melanjutkan istirahat. Berharap bisa mengoptimalkan hari libur, sejenak menambah hak tubuh untuk tidur yang biasanya terampas oleh lembur. Sayangnya baru lima menit saya terlelap, ketika tiba-tiba terdengar lagi pekikan kalap.

“BUKAN MANUSIA KAU, KIMAK!!” 

Lagi, perempuan tadi berteriak. Kali ini disusul suara-suara lain. Hempasan, bantingan, lalu tangisan anak kecil.

Saya terbangun seutuhnya. Duduk di tepi tempat tidur sambil merutuki tetangga yang untuk kesekian kalinya kembali berulah.

Suara perempuan tadi datang dari rumah sebelah. Kamar tidur saya memang berbagi dinding dengan kamar tidur tetangga. Akibatnya saya leluasa mendengar (meskipun tidak berniat) setiap kali tetangga saya mengeluarkan volume suara melebihi batas normal.

Perempuan yang tadi berteriak itu entah siapa namanya. Saya tidak pernah menanyainya soal itu.

Dari luar ia terlihat biasa, tidak ada yang istimewa. Tipikal ibu-ibu muda. Usianya mungkin sekitar 30-an, selalu mengenakan daster bermotif bunga setiap kali ia terlihat menyapu di teras rumah, serta jarang menyapa.

Kulitnya putih dengan raut keras terukir pada rona mukanya. Rambutnya digelung jika ia di teras, namun selalu ditutupi kerudung jika ia meracak motor matic-nya ke luar rumah.

Saya pernah diberitahu bahwa suaminya bekerja di luar kota dan hanya kembali pada saat cuti atau libur. Setiap hari, perempuan inilah yang mengantar jemput anaknya sekolah.

Hanya itu yang saya tahu. Berangkat kerja di pagi hari dan seringkali pulang saat malam menjelang membuat interaksi saya dengan tetangga ini terbatas pada akhir pekan, itu pun tak lebih dari teguran basa-basa saat saya memarkir motor di teras rumah yang kebetulan tak berbatas dengan garasi sebelah.

DSC04738

Selama beberapa bulan sejak kepindahan saya ke kota ini, saya beberapa kali mengalami kejadian serupa. Mulanya saya abai. Tapi saat hardikan itu semakin sering menembus dinding kamar, saya gagal membuatnya samar.

Teriakan anjing, babi, dan segala jenis binatang yang tak berdosa menggema, masuk ke sela kuping saya saat saya duduk di depan laptop, di meja kerja dalam kamar. Umpatan itu menembus pikiran, membawanya berkelana dan bermuara pada satu pertanyaan: “Apa yang membuat seorang ibu tega berkata kasar pada darah dagingnya sendiri?”

Dalam salah satu tayangan dokumenter di televisi yang sempat saya saksikan beberapa waktu lalu, dijelaskan tentang kejiwaan ibu-ibu muda yang mengalami sindrom Baby Blues. Ibu-ibu ini, berusia 20-an hingga awal 30-an, mengaku mengalami gegar budaya saat menjalani transisi dari seorang perempuan menjadi ibu.

Dari pengakuan salah seorang ibu, disebutkan bahwa umumnya mereka tertekan setelah melahirkan karena tidak sanggup memenuhi banyaknya tuntutan serta belum mampu merelakan beberapa hal yang dulu menjadi bagian dirinya saat masih belum memiliki anak.

Saat bayinya terlahir, suami, mertua, orangtua, keluarga, teman, media, memenuhi benak si ibu dengan tuntutan beragam;

Anak tuh ga boleh diginiin;

Kalau anak begini dia harus digituin;

Kamu kok habis lahiran jadi makin melar sih?;

Sekarang kamu gitu ya, udah ga pernah nongkrong atau nonton sama teman-teman lagi; 

Kamu tuh bisa ga sih sebenarnya ngasuh anak?; 

Itu lho suamimu juga diurus jangan sibuk sama anak aja;

Dan lain-lain.

Dan seterusnya.

Dokumenter tadi dilengkapi dengan penjelasan psikiater, bahwa tuntuntan-tuntutan tersebut mempengaruhi kejiwaan si ibu yang labil.

Sebagian ibu muda mungkin masih belajar merelakan untuk tidak lagi ngumpul-ngumpul cantik dengan teman-teman pergaulannya dulu. Sebagian lain menahan hati disindir mulut tajam mertua.

Sementara mereka sendiri -para ibu muda ini- juga bertarung dengan batinnya, melawan ego dan emosi saat suami ternyata tak membantu mengasuh anak, atau sewaktu menatap wajah di cermin yang kini menampilkan muka lelah dan tubuh bergelambir yang sama sekali berbeda dengan fisik paripurna saat belum melewati bukaan 10.

Para ibu yang sukses melewati periode awal kelahiran tersebut biasanya akan terbiasa dan menemukan kebahagiaan sendiri saat menjalani tugas terberat di dunia, menjadi ibu. Sebagian yang belum berhasil akan terganggu kejiwaannya, dan buruknya, bisa jadi akan melampiaskan emosi dan kekesalan pada objek di sekelilingnya.

Anak, dalam hal ini, bisa menjadi pelampiasan emosi sang ibu atas hal-hal yang mengecewakannya.

Saya sempat berpikir, bagaimana jika ternyata tetangga saya termasuk pada kelompok kedua? Bagaimana jika ia melampiaskan kemarahan dengan kekerasan verbal dan fisik kepada anaknya?

Saya percaya, karakter setiap manusia punya variabel-variabel unik tersendiri, sehingga tidak serta-merta merupakan hasil perkalian budaya, latar belakang keluarga, dan pendidikan. Beringasnya seorang perempuan berjuluk Ibu tidak lantas merupakan cermin dari hal-hal di sekelilingnya. Namun, tetap saja tidak mudah buat saya untuk memahami apa yang terjadi di balik tumpukan bata dinding kamar ini.

Anjing

Satu hal yang saya pelajari, perlakuan kasar orangtua akan selamanya melekat dalam benak sang anak. Tak heran jika setiap kali pertengkaran di balik dinding ini terjadi, setiap kali itu pula saya akan mendengar teriakan dari si anak (yang masih duduk di bangku sekolah dasar) yang menimpali makian sang Ibu dengan makian yang tak kurang kasarnya.

Sang Anak, menjadi cermin dari tindakan Ibunya, memantulkan kembali setiap umpatan yang pernah diterima. Sayang, tetangga saya seperti tak paham. Atau, memilih untuk pura-pura tak paham.

Tangisan dari kamar sebelah kembali terdengar. Saya tersentak. Saya hembuskan nafas perlahan.

Beberapa teriakan terdengar lagi. Sekelebat kata-kata seperti “Mama capek!”, “Kamu dibilangin selalu ga mau denger!”, “Diam kau, babi!”, dan seterusnya terdengar lagi.

Saya tercenung di sudut kamar.

Iseng, saya dekati dinding yang membatasi saya dengan perempuan yang dipagut amarah di balik sana.

Umpatan masih terdengar, tak henti, ibarat pusaran air yang siap menelan apa saja yang mendekati.

Saya ketuk dinding kamar itu pelan-pelan.

Satu kali.

Masih terdengar suara dari ruang sebelah.

Dua kali.

Tidak ada yang berubah.

Saya tarik nafas lalu bersiap mengetuk untuk ketiga kali ketika tiba-tiba senyap. Tak ada lagi suara menembus dinding.

Lalu secepat hilangnya, terdengar lagi teriakan:

“INI LAGI!! MAU APA KAU!! CAMPUR-CAMPUR URUSAN ORANG!! 

Saya memilih abai. Melanjutkan mengetuk dinding -sengaja memicu amarah si Ibu ke titik didih-, sambil tersenyum.

“DHUGGGG!”

Terdengar satu kali ketukan keras dari sisi sebelah. Saya kaget lalu segera menghentikan memukul-mukul dinding.

Lalu terdengar bantingan pintu. Tangisan lainnya. Kemudian hening.

Saya tersenyum lagi. Berhasil!, bisik saya. Mission accomplished. Setidaknya sang perempuan tak lagi mengumbar umpatan.

Sesaat saya teringat cerita seorang teman.

Ia bilang, menjadi orangtua itu layaknya memberi anak sepasang sayap dan sebuah sarang. Dengan sayap, si anak akan sanggup pergi kemanapun yang dia mau. Dengan sarang, si anak akan punya tempat untuk kembali pulang.

Jika seorang anak disakiti orangtuanya sendiri, bisa jadi ia akan tercambuk untuk melatih dan merawat sayapnya agar bisa terkembang lebar. Agar sanggup membawanya pergi jauh.

Bukan terbang agar ia menyaksikan indahnya dunia, namun semata agar ia menjauh dari sarang, di mana kepedihan hati tak ingin dia ulang.

Saya lirik jam di telepon genggam.

07.56.

Saatnya kembali tidur.

_____________________________

*Segala makian sengaja saya tulis apa adanya agar kita yang membaca dapat merasakan bagaimana perihnya disakiti kata-kata.

4 comments

  1. Da iwan tugas dimana skg?? Makian itu sepertinya makian di daerah riau sana 😅😅😅

    Jangankan neriakin anak anjing dan sejenisnya..kdg saat emosi ga terkontrol,itu aja udh bikin perasaan bersalah banget ama si anak, karena tahu teriakan saja udah bikin perasaan anak tersakiti 😫😫😫… menjadi seorang ibu (org tua) memang (terkadang) melelahkan, dan disana proses belajar kita untuk bisa mengelola emosi , menambah tebal kadar kesabaran yg terkadang teramat tipis…

    *tertanda mahmud yg lagi belajar*😅😅😅

    Liked by 1 person

    1. Hahaha langsung ketahuan dari logatnya ya, Pid.
      Jadi orangtua mau ga mau terikat kontrak seumur hidup buat gedein anak ya. Dan yang namanya anak kan juga manusia yang punya perasaan dan ngerti kalau dikasarin. Semoga makin banyak orangtua yang aware sama bahayanya berkata kasar sama anak.
      Semangat, Pid!

      Liked by 1 person

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: