Entah sudah berapa lama hujan tidak turun di sini. Tanah terasa gersang karena pepohonan meranggas. Udara juga sangat kering. Membuat gerah karena pakaian yang selalu lembab menyerap keringat, dan membuat gelisah karena kipas teryata tak cukup berdaya mendatangkan angin segar yang ditunggu badan.
Di saat-saat seperti ini saya rindu hujan.
Terakhir saya menikmati hujan yang cukup deras sewaktu berada di Ibukota, beberapa waktu lalu. Itupun tidak lama, hanya hujan sesaat, bukan hujan deras disela angin kencang seperti yang saya inginkan.
Saya selalu menikmati saat hujan turun.
Malam hari, jika hujan turun sebelum tidur, saya akan mematikan lampu, menarik selimut, kemudian berbaring sambil mendengarkan suara derap hujan yang menghujam atap.
Kadang suaranya terdengar keras, kadang pelan tertutup plafon kamar. Suara yang seringkali menghipnotis dan membangkitkan kenangan masa lalu.
Dari semua yang saya sukai tentang hujan, bagian paling favorit saya adalah aroma hujan.
Ya, mungkin tidak semua orang menyadari bahwa setiap kali turun, hujan selalu membawa aroma. Bau khas yang muncul saat tetes-tetes air menyentuh tanah. Bau yang menguar saat perlahan-lahan debu di lapisan tanah dan aspal tersingkir oleh sapuan air hujan.
Setiapkali hujan turun, saya sering menghirup aroma ini dalam-dalam, merasakan betapa hujan datang membawa keberkatan bagi mereka yang disiraminya.
Bau khas yang tercium saat tanah disirami air hujan itu namanya Petrichor.
Istilah ini benar-benar ada dalam kamus ilmiah. Petrichor berasal dari bahasa Yunani, Petros artinya batu, dan ichos artinya air.
Mungkin tidak semua orang tahu istilah dari aroma hujan tersebut, tapi saya yakin mayoritas dari kita menyadari bahwa di saat-saat pertama hujan turun, ia memang menyebarkan aroma khusus yang membekas di hidung kita.
Setiap kali petrichor datang, ia selalu berhasil memanggil kenangan-kenangan lama dari tumpukan kenangan di otak saya. Mengingatkan saya pada masa kecil, dimana saya berlari di tengah hujan, bersama sepupu di lapangan dekat rumah. Pulangnya, tentu saja dimarahi orangtua.
Saat saya remaja dan mengenal cinta, petrichor juga ada disana.
Ah, siapa yang bisa melupakan kenangan berjalan berdua, di tengah rintik hujan, atau berdiri sambil ngobrol berlama-lama di dekat warung pinggir jalan dengan alasan menunggu hujan reda?
Berbeda dengan hujan di ibukota.
Saat kehujanan di Jakarta, saya menyadari bahwa petrichor seringkali tidak tercium di sana. Mungkin karena setiap kali hujan turun, saya sebisa mungkin menghindari jalanan. Bisa jadi juga karena hidung yang tak lagi sensitif, tertutup aroma jalanan Jakarta, sehingga petrichor jarang singgah disana.
Apapun, hujan dan petrichor selalu istimewa.
Berdua, mereka menggelitik perasaan, memanggil masa silam, lalu melemparkannya ke masa sekarang. Menciptakan semacam perasaan bahagia yang menelisik tanpa permisi.
Setiap kali hujan datang, bahagia itu menggenang.
Diiringi petrichor, percikan hujan meneriakkan kabar bahwa debu akan segera disapu.
Bahwa kering akan segera tersingkir dari pucuk-pucuk yang layu.
Bahwa telah tiba saatnya tertawa dan bernyanyi.
Berdua, bersama, di tengah derai hujan.
Dan ketika hari-hari musim hujan di bulan-bulan berakhiran -ber (September, Oktober, November, Desember) biasanya dipilih orang sebagai hari bahagia melangsungkan pernikahan ….ea
LikeLiked by 1 person
Semesta mendukung soalnya haha.
LikeLiked by 1 person
Hihihi… hujan ini romantis 🙂
LikeLike