Asia Turki

Scam Ala Istanbul: Tipu-tipu di Pelataran Mesjid Biru

Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 17.00. Masih 50 menit lagi sebelum waktu maghrib menjelang. Saya putuskan untuk tidak kemana-mana lagi dan hanya duduk menikmati suasana sore di salah satu bangku taman di pelataran Mesjid Biru, Istanbul, Turki.

DSC04766.JPG
Salah Satu Sudut Mesjid Sultan Ahmet, Istanbul
DSC04777.JPG
Taman dan Pelataran Mesjid

Sore itu nyaman. Suara gemericik dari beberapa air mancur kecil yang ada di sela-sela rumpun bunga tulip sesekali ditimpali riuhnya percakapan pejalan kaki. Jalanan masih menyisakan basah selepas hujan. Di beberapa sudut, pedagang-pedagang jagung bakar dengan gerobak-gerobak beratap terpal menjajakan dagangan di sekitar taman. Sementara puluhan turis berjalan di jalur paving batu menikmati pemandangan taman yang diapit dua bangunan bersejarah di Istanbul: Hagia Sophia dan Mesjid Biru.

DSC04736.JPG
Pedagang Jagung Bakar
DSC04785
Turis yang Lalu Lalang di Taman Sekitar Mesjid

Mesjid Biru atau The Blue Mosque sebenarnya memiliki nama resmi Mesjid Sultan Ahmet. Namun, nama tersebut kalah populer dari sebutan Mesjid Biru yang terlanjut melekat di benak warga dunia. Sebutan yang merujuk pada keramik-keramik biru yang menutupi dinding-dinding mesjid, ornamen tumbuhan bercorak biru yang menghiasi ukiran-ukiran, serta kaligrafi di dalam masjid tersebut.

DSC05123
Interior Mesjid Biru

Beberapa kali mesjid ini muncul dalam film. Satu yang cukup saya ingat adalah kemunculannya dalam film laris berjudul Armageddon yang dirilis pada penghujung tahun 90an. Dalam film tersebut dikisahkan ribuan orang berkumpul di pelataran Mesjid Biru, menunggu perkembangan terbaru misi penyelamatan planet bumi. Kumpulan manusia tersebut berdoa sambil menanti kabar dari sekelompok orang terpilih yang dikirim ke luar angkasa untuk meledakkan meteor yang hendak menabrak bumi.

DSC04712.JPG
Penampakan Mesjid Biru yang Mengesankan

Meskipun hanya muncul sepersekian detik dalam klimaks film tersebut, tetap saja bentuk Mesjid Biru yang ikonik mampu mencuri perhatian. Dengan lima kubah utama, delapan kubah pelengkap, serta enam menara, arsitektur mesjid yang dibangun pada tahun 1600-an ini memang mampu membekaskan kesan di benak mereka yang melihatnya.

DSC04718.JPG
Kubah Utama Mesjid Disangga Oleh Beberapa Kubah Lain Berukuran Lebih Kecil

Saya tengah mengambil beberapa foto ketika tiba-tiba terdengar suara seorang pria mengucapkan salam:

“Assalamu’alaikum, Brother!”

Seketika saya memalingkan muka ke arah datangnya suara.

Seorang laki-laki paruh baya berdiri sambil membawa sebuah keranjang. Pria itu berjenggot dengan brewok yang mulai memutih. Sore itu ia mengenakan celana kain biru dan kemeja polos biru muda. Pria itu berkulit coklat tua, sama sekali tidak menyerupai kebanyakan orang Turki yang saya temui.

DSC04772.JPG
Kursi Taman Tempat Saya Beristirahat Sore itu

Ia mendekat ke kursi tempat saya duduk, lalu berbicara dalam bahasa yang tidak saya kenali. Saya hanya diam, karena sama sekali tidak paham apa yang ia bicarakan. Butuh beberapa saat sampai akhirnya laki-laki tersebut menyadari bahwa saya tidak mengerti apa yang ia sampaikan.

Ia berhenti, lalu kembali bertanya, kali ini dalam bahasa Inggris:

Do you speak English, Brother?”

Saya anggukkan kepala pelan, tidak terlalu tertarik memulai percakapan dengan orang asing.

Melihat reaksi saya, laki-laki tersebut segera melanjutkan perkataannya.

“Saya kira kau bisa berbahasa Turki. Boleh saya duduk?” tanpa menunggu jawaban saya, ia mengambil tempat lalu duduk di sebelah saya.

Kami lalu berbincang di kursi tersebut.

DSC04921.JPG
Mesjid Biru Dilihat Dari Hagia Sophia

Namanya Omer, ia berbicara dengan Bahasa Inggris yang cukup lancar namun dengan aksen lokal yang kental. Saya tidak tahu berapa usianya, mungkin sekitar 50-an tahun.

Awalnya Omer mengira saya sebagai orang Turki, itulah sebabnya ia menyapa. Beberapa menit ia bercerita panjang lebar tentang dirinya yang ternyata imigran dari Libanon dan bekerja serabutan di Istanbul. Ceritanya berujung pada kisah tentang anak perempuan satu-satunya yang tengah sakit keras.

Saat itulah ia tiba-tiba terisak. Ucapannya tidak terlalu jelas terdengar saat ia mengeluh tentang betapa susah hidupnya di Istanbul belakangan. Tentang betapa ia merasa tidak berguna. Tentang betapa ia membutuhkan uang untuk makan dan pengobatan anaknya.

Well, that escalated quickly,” pikir saya saat mendengar cerita Omer tadi.

DSC04705
Salah Satu Akses ke Dalam Mesjid

Agak aneh rasanya ada orang asing yang bercerita tentang kisah pilu hidupnya lalu menangis di depan orang yang baru dikenalnya beberapa menit lalu. Saya belum pernah mengalami yang seperti itu sebelumnya.

Beberapa menit berlalu. Saya tidak tahu harus bersikap apa, lalu akhirnya memutuskan untuk berdiri, bermaksud beranjak ke Mesjid Biru dan menunggu waktu maghrib di dalam mesjid.

Sorry, I have to go. I wish you and your daughter nothing but the best. Nice meeting you, Omer!” ujar saya bermaksud mengakhiri pertemuan yang terasa sangat awkward tersebut.

No, please don’t go! Please, wait.” Omer tiba-tiba berujar.

Saya sedikit kaget karena tiba-tiba pria tua itu bangkit dari tempat duduk lalu merogoh keranjang yang tadi dibawanya kemudian bergegas mengeluarkan setumpuk buku.

DSC04706.JPG
Pelataran di Balik Pagar Mesjid

Here, please take these, Brother. Please, help me. I’ll give you special price,” ujarnya sambil menyodorkan buku-buku tersebut ke saya.

I know you are a moslem and we are brother under Islam”, ujarnya lagi, dengan nada memelas.

Omer separuh memaksa, kembali menyorongkan buku-buku tadi ke saya, sambil mengulang cerita anaknya yang sakit keras dan keluarganya yang butuh makan.

Pikiran saya langsung siaga.

“Orang ini terlalu mencurigakan. Scam nih kayanya..” pikir saya.

Saya teringat pernah membaca tentang scam atau penipuan oleh warga lokal yang memang banyak mengincar para turis di Istanbul.

DSC04708
Salah Satu Gerbang Mesjid

Namun, separuh pikiran saya yang lain tidak tega membiarkan pria tua tersebut berlalu tanpa dibantu. Jika Omer memang berbohong, saya harus mengacungkan dua jempol atas aktingnya yang sangat meyakinkan. Tapi bagaimana jika ceritanya bukan bohongan dan ia benar-benar butuh bantuan?

Saya putuskan melihat buku-buku yang ia sodorkan. Kebanyakan bertema tentang wisata di Istanbul dan daerah lainnya di Turki.

I still have more,” Omer membaca reaksi saya, bergegas mengambil lebih banyak lagi buku dari keranjang yang ia bawa, lalu kembali menyodorkannya ke saya.

Satu buku tipis bersampul ungu menarik perhatian saya, judulnya All Istanbul: City of Civilisations. Isinya tentang sejarah awal berdirinya Istanbul serta beragam informasi seputar landmark-landmark utama di kota itu.

DSC04702
Area Wudhu

Saya ambil buku tersebut dari tangan Omer sambil menanyakan harganya.

I’ll give special price for you, Brother. Special for you. Just 150 lira,” ujar Omer menjawab pertanyaan saya.

WHAT?? 150 lira?? Gila ini orang, buku ginian doang 150 lira,” saya membatin. Dengan harga 150 lira, itu artinya buku tersebut dibandrol sekitar tiga ratus ribu rupiah.

Omer pasti berbohong soal harga buku tadi. Saya haqul yakin, buku tipis yang tadi saya ambil tidak semahal itu harganya.

Seketika saya sadar, Omer mungkin memang salah satu penipu yang mengincar turis-turis yang banyak berkeliaran di pelataran Mesjid Biru.

DSC04774
Suasana di Taman Mesjid Biru

Sorry, Omer, I don’t have enough money,” ujar saya. “I have to go now,” saya ulangi lagi kata-kata saya tadi, kali ini sambil mengembalikan buku tadi ke keranjang Omer.

Omer terdiam sejenak, sebelum kembali memohon kepada saya untuk membeli barang dagangannya.

Entahlah, mungkin saya memang terlalu baik hati. Separuh pikiran saya entah kenapa masih bersikukuh mengingatkan saya: Bagaimana jika bapak tua ini ternyata tidak berbohong?

Saya rogoh saku celana. Hanya tersisa 24 lira. Sekitar lima puluh ribu rupiah saja.

Saya sodorkan uang tersebut ke Omer.

DSC05029.JPG
Enam Menara Mesjid Biru

“Cuma ini yang saya punya, saya tidak punya uang untuk membeli buku seharga 150 lira, jika kau mau menjual buku tadi, saya hanya punya 24 lira ini,” ujar saya, memberi penekanan pada angka 24 lira.

Omer terdiam lagi. Lalu perlahan tangannya meraih uang yang saya sodorkan. Ia lalu membungkuk, mengambil buku yang tadi saya kembalikan ke keranjangnya, lalu menyerahkannya kembali ke saya.

Thank you, Brother,” ujarnya singkat.

Saya tersenyum, meraih buku tadi dari tangannya lalu berujar: “You’re welcome!

Saya balikkan badan, berjalan menuju Mesjid Biru. Sempat saya melirik ke tempat Omer tadi berdiri, ia masih di sana mengemasi keranjang bawaannya.

DSC05076
Taman Mesjid Biru

Jika benar yang saya alami tadi adalah scam, saya bersyukur, modus scam yang saya alami tidaklah terlalu berat. Hanya mark up harga buku (yang sangat tidak masuk akal) disertai drama kisah sedih keluarga yang mungkin sengaja diumbar agar saya kasihan.

Dari yang pernah saya baca, masih banyak modus scam lain yang beredar di sekitaran Mesjid Biru.

Sebagian penipu akan berlagak sebagai pemilik paket tur yang menjajakan paket tur dengan harga miring padahal paket tersebut fiktif belaka.

Ada juga penipu yang berlagak akan membawa turis ke restoran lokal, kemudian memberinya banyak minum beralkohol hingga mabuk. Saat itulah mereka beraksi dengan menguras kartu kredit yang dimiliki si turis.

DSC05120
Seluruh Bagian Mesjid Dihias Dengan Ornamen Yang Memiliki Detail Mengagumkan

Modus lainnya adalah penipu yang menawarkan jasa pendampingan ke toko-toko karpet yang diakuinya berkualitas bagus. Padahal toko-toko karpet yang ditunjukkan pada turis adalah toko karpet dengan kualitas buruk, di mana si penipu sudah bersepakat sebelumnya dengan si pemilik toko.

Masih banyak modus tipu-tipu lainnya di Istanbul, termasuk supir taksi yang menaikkan tarif taksinya sesuka hati atau tukang semir sepatu yang menjatuhkan barang di sekitar turis untuk menarik turis agar membantunya. Saat dibantu, mereka akan memaksa turis untuk memakai jasa mereka untuk kemudian dikenakan tarif yang tidak masuk akal.

Mengerikan bukan?

Namun, sekiranya Omer tidak berbohong dan yang saya alami tadi bukan merupakan scam, setidaknya saya sudah membantunya dengan 24 lira tadi, demikian pikir saya berlagak bijak, sambil berjalan mendekati mesjid. Menjelang petang, bangunan tersebut terlihat semakin mengesankan.

DSC05109
Mesjid Biru Menjelang Malam

Sambil berjalan, saya buka tas ransel saya untuk menyimpan buku tadi. Cahaya dari lampu taman yang mulai menyala perlahan menyinari saya. Saat itulah saya sadari, di sudut kanan bawah sampul belakang buku tersebut tertera harganya dalam angka kecil bertinta hitam:

37 Lira.

Saya tersenyum sambil bergumam, “150 lira ndasmu!”

DSC05136.JPG
Mesjid Biru Di Malam Hari

Azan maghrib bergema di tengah tebaran gelap yang merambat pelan dari sudut cakrawala.

Suatu senja di Istanbul.

3 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: