Suara sepatu boot yang menginjak salju bersahutan di sela deru angin malam.
Saya perlambat langkah, tidak ingin keliru menginjak lapisan salju yang telah membeku menjadi es. Seharian itu sudah berkali-kali rasanya saya terpeleset dan menanggung perih di lutut serta telapak tangan.
Saat itu bulan Januari, pertengahan musim dingin di Reykjavik, Islandia. Malam di musim dingin selalu terasa lebih panjang daripada musim-musim lainnya.

Terusik oleh rasa dingin yang menggigit kulit dan membuat bibir kering mengelupas, saya keluarkan handphone dari saku celana. Agak sulit meraba layar sentuh dengan tangan terbalut sarung tangan wol.
Butuh beberapa detik sebelum layar telepon genggam saya akhirnya berpendar.
-17 derajat celcius.
Aplikasi cuaca menunjukkan suhu udara malam itu. Di pojok kanan atas indikator baterai sudah berwarna merah.


βAyo, jangan sampai kita ketinggalan!β teman saya menyemangati, mengingatkan bahwa kami harus bergegas dan kembali ke penginapan tepat waktu.
Dua hari sebelumnya, saya dan tujuh teman lainnya mendarat di Reykjavik, ibukota Islandia. Perjalanan tiga jam dari Gatwick, London, dilalui dengan lancar. Hanya sesekali turbulence.
Sepanjang sore tadi, kami berkeliling. Melihat-lihat suasana yang cukup berbeda dari banyak kota-kota utama Eropa lainnya. Dengan penduduk yang hanya berjumlah 120 ribu orang, kota pesisir ini jelas kalah ramai dari London, Barcelona, dan teman-temannya.


Malam menjelang ketika kami memecah rombongan.
Saya dan satu orang teman berencana mengunjungi museum aurora di salah satu sudut kota. Enam teman lainnya tidak begitu tertarik sehingga kami sepakat untuk berpisah di depan Harpa, sebuah gedung konferensi dan arena konser, lalu berjanji bertemu kembali di penginapan pukul 10 malam.


Tidak seperti harapan saya, ternyata tidak ada yang spesial dengan museum yang kami kunjungi. Meskipun cukup informatif dan memberi saya banyak wawasan baru tentang aurora, tampilan gedung dan museumnya terkesan seadanya. Sangat sederhana.
Saat kami datang, hanya ada dua petugas di meja resepsionis. Tidak ada pengunjung lain yang terlihat. Bisa jadi karena saat itu sudah lewat pukul 8 malam dan museum ditutup pukul 9.


Tepat saat museum ditutup, kami berdua keluar dan berjalan pulang menapaki trotoar yang tertutup salju.
Saya hembuskan nafas.
Udara yang keluar dari mulut dan hidung menjelma menjadi asap. Saya seperti perokok yang sedang mengepulkan asap hasil tembakau yang dibakar.
Tidak terlihat ada orang di jalanan. Kendaraan yang lewat pun dapat dihitung jari. Pun tidak ada motor atau orang-orang berjualan. Reykjavik jelas tidak seperti Jakarta yang bahkan di tengah malam dengan mudah dapat ditemukan manusia berseliweran baik dengan mobil, motor, atau berjalan kaki.

Kami hanya punya satu jam untuk mencapai penginapan.
Malam ini adalah malam ketiga saya dan teman-teman berada di Reykjavik dengan satu tujuan utama: mencari dan menyaksikan langsung aurora.
Sayangnya, kemunculan aurora βcahaya di langit yang bergerak pelan dan memendarkan warna-warni indah luar biasa berlatar gelap malam- tidak dapat diprediksi. Ia hanya muncul jika cuaca cerah dan langit tidak tersaput awan tebal. Untuk dapat terlihat mata pun ia harus mencapai intensitas terang dengan skala tertentu.
Dua malam sudah kami berburu. Dan tiap kali pula kami pulang dengan tangan hampa. Bertemu dengan dia yang didamba memang kadangkala tidak semudah membuka kelopak mata.
Pukul 10 malam kami berdelapan harus sudah berkumpul di depan penginapan untuk menaiki bus, bergabung bersama dengan pelancong-pelancong lainnya, kemudian berangkat bersama. Berharap bertemu dan menyaksikan langsung aurora dengan mata kepala.

Saya lirik jam tangan.
Pukul 21.25.
βYakin ini jalannya?β teman saya bertanya.
Saya pandang sekeliling, kami berada di semacam area pertokoan yang nyaris semuanya sudah tutup. Beberapa jendela kaca tanpa gorden menampakkan isi toko yang disinari lampu kuning. Tidak ada teralis ataupun penjaga. Dengan tingkat kriminal hanya 0,2 %, Islandia memang menjadi salah satu negara paling aman di atas bumi.


βGa yakin juga sih. Baterai hape gua tinggal 2 persen nih, buka googlemaps pasti mampus ini,β jawab saya sambil tertawa pelan.
βTapi gua yakin sih arahnya ke sini, tadi siang sempat ngecek, museumnya di utara sementara penginapan kita di selatan. Kayanya tinggal lurus aja kalau dari gereja Hallgrimskirkja,β tambah saya, sambil menunjuk ke menara gereja yang menyembul dari atap bangunan lain di sekelilingnya.
βKita ke depan gereja itu dulu aja, gimana?β saya melempar usulan.
Teman saya mengangguk. βAyolah, kalau gitu. Mudah-mudahan ada orang di sana yang bisa ditanyai arahβ katanya.
Saya yakin, teman saya separuh kesal tak bisa mengecek arah. Telepon genggamnya sudah kehabisan baterai dari tadi. Udara dan suhu dingin memang menyedot daya baterai handphone dan kamera dua kali lebih cepat dari biasa.
Simak perjalanan saya menembus musim dingin di Rusia, semata agar dapat menziarahi makam Lenin -tokoh besar komunis dunia- di sini.
Kami teruskan langkah, separuh terengah karena jalanan yang menuju gereja sedikit menanjak.
Kami sampai di depan Hallgrimskirkja. Bangunan gereja dengan menara menyerupai kerucut yang terbentuk dari susunan pilar-pilar silinder ini sudah lama menjadi salah satu ikon utama Reykjavik.

Tidak ada siapa-siapa di sana.
Kami tersesat.
Di malam hari.
Di tengah kota asing yang sepi.
Tanpa akses internet.
Tanpa ada orang yang bisa ditanyai.
Dan tinggal 20 menit lagi menuju pukul 10 malam.
Kami akan ketinggalan bus.
Dan itu artinya kami akan kehilangan kesempatan untuk menyaksikan langsung aurora di cakrawala.
Kesempatan yang entah kapan akan kembali.
βDuduk bentar ya, gua ambil nafas dulu,β teman saya berujar sambil mengambil posisi duduk di pelataran depan gereja.
βHahaha.. sok. Gua coba liat-liat dulu siapa tau ada orang yang bisa ditanyain. Daripada kita jalan terus tapi ternyata nyasar?β saya mencoba optimis.
Langit malam itu cerah. Sedikit awan terlihat di horizon. Tidak banyak.

Dengan cuaca seperti ini sepertinya aurora bisa terlihat, saya membatin.
Sedikit kecewa membayangkan kemungkinan aurora akhirnya muncul setelah tiga malam dicari tapi saya mungkin tidak akan dapat menyaksikannya karena ketinggalan bus. Tersesat mencari rute pulang.
Dingin malam terasa dua kali lebih membekukan saat jengkel dan kecewa membuncah.
Perlahan salju turun, butir-butir halusnya menimpa rumput di pinggiran trotoar. Saya lepaskan tudung jaket, membiarkan butiran-butiran putih mendarat di kepala.
Tiba-tiba pandangan saya tertuju ke sebuah sedan gelap yang terparkir di sudut bangunan, di persimpangan jalan.
Saya coba memfokuskan mata agar yakin.
Ya, mata saya tidak salah lihat.
Ada seseorang di dalam mobil.
Saya berdiri, lalu bersiap melangkah sambil berteriak ke teman saya yang masih terdiam duduk menikmati asupan oksigen ke dada.
βOi, kayanya ada orang tuh di mobil. Samperin yok! Buruan sebelum kabur mobilnya,β ajak saya.
Teman saya tersentak, lalu mengikuti saya berlari ke arah mobil tadi.
Saat kami mendekat, baru kami sadari bahwa sedan tadi adalah sebuah taksi dengan seorang bapak separuh baya duduk di belakang kemudi. Jendela pintu depan diturunkan.
Kami tak peduli sekalipun itu taksi dan itu artinya kami harus membayar cukup mahal jika ingin memanfaatkannya. Yang terpenting adalah sampai di penginapan tepat waktu.
Sedikit terengah kami akhirnya sampai di depan mobil tadi.
Pengemudinya tengah menatap handphone di tangan saat kami menghampiri.
βHi mate, can you please help us?β teman saya mengawali pembicaraan.
Bapak itu menoleh, menyimpan handphone ke saku kemeja hitamnya, melirik kami dengan pandangan ingin tahu, lalu bertanya, βSure, is everything alright?β
Perlahan, saya dan teman saya menjelaskan. Kami butuh bantuan untuk diantar ke penginapan.
Cerita kami usai. Kami menanti reaksi dari si pengemudi sambil berharap dalam hati.
βYeah, Iβm a taxi driver. But itβs late already, Iβm done driving for today, and I was thinking of going home,β ujarnya.
Saya melirik teman saya, sepintas ada ekspresi kecewa di raut mukanya.

Saya bersiap memohon kembali ke si pengemudi, ketika tiba-tiba ia berkata.
βBut..β
βIβd love to help you. Let me check my GPS first. I need to know where exactly your hotel is,β katanya sambil mengeluarkan handphone dari sakunya.
Meskipun saya tidak mengenalnya, saat itu tiba-tiba saya bisa merasakan ketulusan dari suaranya. Entah kenapa.
YEAHHH..! Teriak saya dalam hati. Lega.
Saya dan teman tersenyum gembira. Dinginnya salju dan angin malam terasa berkurang tiba-tiba.
Kami menunggu sejenak si pengemudi taksi mengecek handphone-nya.
βYou guys want to get in?β bapak itu kemudian bertanya, menatap kami sambil menggoyangkan kepala ke arah jok belakang mobilnya.
Separuh terpaku tidak percaya, saya dan teman saling tatap. Lalu serentak mengiyakan.
Selintas logika saya sempat menolak.
Apa kau gila? Mengikuti tawaran masuk ke mobil orang asing tak dikenal di negeri asing, di malam hari pula? Bagaimana bila ia seorang kriminal?
Mengabaikan semua hal yang pernah saya pelajari untuk tidak mudah percaya dengan orang asing, saya melangkah membuka pintu mobil, lalu masuk dan duduk di jok belakang. Teman saya mengikuti dari pintu yang lain.
Entah mengapa, saat itu saya merasa, semua akan baik-baik saya.
Saat saya dan teman masuk ke mobilnya, si pengemudi membalikkan badan ke arah kursi belakang dan bertanya, βWant me to put your bags in the car trunk?β
Kami tersenyum lalu menolak sopan, merasa canggung dengan keramahan yang tidak disangka.
Laki-laki yang duduk di balik kemudi itu kemudian memutar kunci mobil. Mobil terasa bergetar diiringi bunyi pelan. Lalu sesaat kemudian, kendaraan yang membawa kami mulai melaju.
Dalam perjalanan menuju penginapan, teman saya bertanya soal ongkos yang harus kami bayar karena diantarkan pulang.
Pengemudi di depan kami tertawa keras, sambil mengangkat tangan kirinya.
βPlease donβt talk about it. No need toβ, ujarnya.
βSaya sudah mendapat cukup banyak uang hari ini. Percayalah, menolong orang βbaik turis atau bukan- bukanlah hal yang aneh di sini. Kami di sini percaya, uang memang bisa memberimu semua. Tapi tidak semua hal bisa diukur dengan uang. Dan tidak semua hal harus dilakukan karena alasan uang.β
βSaya senang membantu kalian. Dan itu sudah cukup buat saya.β
βSo, keep off your wallet, Iβm taking you home. For free.β
Ia mengakhiri kalimatnya sambil tersenyum pada kami berdua sementara taksi yang membawa kami melesat melewati kawasan pertokoan lain yang sedikit lebih ramai.

Saya dan teman tercenung di bangku belakang, merenungkan kata-kata yang baru saja menghujam ke telinga.
Kehangatan tiba-tiba menyeruak. Seolah sekeping bara dilemparkan dan jatuh menembus lapisan salju di rerumputan. Menebar hangat di tengah hawa dingin Reykjavik yang berkecamuk. Mencairkan kebekuan.
Saya belajar banyak hal dari perbincangan di taksi malam itu:
Negara ini, Islandia, sungguh luar biasa; Ia bertahun-tahun menjadi negara paling aman di dunia dengan nyaris tanpa kesenjangan nyata di antara penduduknya.
Tidak ada polisi yang membawa senjata di sini, namun pelanggaran ketertiban dan aturan sangat jarang ditemui. Bahkan tingkat kriminalitas setiap tahunnya selalu sangat rendah, nyaris nol persen.
Islandia juga tidak memiliki tentara nasional dan sama sekali tidak pernah terlibat perang.
Di atas itu semua, dengan iklim ekstrim yang dingin dan keras, hati penduduknya sama sekali tidak ikut membeku.
Islandia adalah anomali kemanusiaan yang indah.

Taksi yang membawa kami perlahan mendekati penginapan. Di kejauhan terlihat bus yang kami tunggu mendekat. Saya bisa mengenali teman-teman yang lain telah menunggu, berdiri di balik pintu kaca lobi penginapan.
Saya menghembuskan nafas lega. Kami tidak terlambat.
Saatnya kembali berburu aurora.
perjalanan yang dramatis ya mas demi berburu aurora di titik paling utara di bumi
saya gak tahan dingin, gak kebayang rasanya tinggal di kota dengan suhu minus gitu mas …
LikeLiked by 1 person
Wah kalo kita yang biasa di tropis kayanya kurang cocok di suhu segitu ya Mas. Bibir pecah-pecah, bisa mimisan juga kadang kalo kena anginnya. Salju menurut saya cuma bagus buat dipandang, tapi aslinya mah dingin dan bikin basah haha.
LikeLiked by 1 person
Aha..iyah…banyak temen orang asing yg bilang gitu, salju cuman asik kalo diliat.. Kalo kena badai salju berabe…
So, ini masih ada lanjutannya kah mas ceritanya?
LikeLiked by 1 person
Iya mas, apalagi kalo udah mulai mencair saljunya. Becek masuk-masuk ke sepatu haha.
Sebenernya masih ada cerita yang ngejar Auroranya mas, Cuma masi mentok sampe draft, belum keposting sampe sekarang hehe.
LikeLiked by 1 person
Siap, sabar menanti wkwkkw π
LikeLiked by 1 person
Saya tersenyum-senyum sendiri dan merinding baca tulisan ini, Mas. Menyentuh banget. Pengalaman-pengalaman begini yang saya suka dari perjalanan.
Btw, gara-gara terpukau ceritanya, sampai habis saya tak terlalu memerhatikan foto. Pas balik-balik lagi ke atas, baru sadar kalau Gereja Hallgrimskirkja–itu saya nulisnya copas, Mas.. hehehe–mirip bangunan-bangunan besar di Asgard. π
LikeLiked by 1 person
Setuju, Mas. Saat berjalan, momen-momen kecil tapi berarti semacam inilah yang juga saya tunggu. Kebaikan ternyata terserak di mana-mana, bahkan di salah satu tempat paling utara di dunia.
Nama gerejanya sulit ya, susah dihapal buat kita :)) Unik memang nama-nama di sana. Nama berbau islandik yang saya hapal cuma Sigur Ros doang kayanya π
Saya pernah baca kalau ga salah di reddit, memang pernah ada yang bilang katanya si Asgardian Castle itu emang desainnya terinspirasi dari gereja yang namanya sulit ini, Mas. Bentuknya nyaris sama ya.
LikeLike