Semua anak pernah melawan pada orangtuanya. Kadang mendongkol di dalam hati, kadang diam lalu berlalu ke dalam kamar, dan kadang membalas ucapan mereka dengan ucapan-ucapan yang tak kalah pedasnya.
Melawan orangtua sepertinya kodrat setiap anak. Orangtua terkadang dianggap menjadi pengekang atas apa yang disebut ‘kebebasan’ oleh jiwa-jiwa muda, terlebih pada awal-awal usia remaja. Memang, periode remaja adalah periode labil, saat-saat seseorang mencari jati diri. Jadi hal tersebut (sepertinya) masih bisa dimaklumi.
Yang tidak dapat dimaklumi adalah jika kita sebagai anak, masih saja melawan pada orangtua saat kita sendiri telah dewasa.
Kadang memang tidak kita sengaja. Kadang justru sebaliknya. Suka atau tidak suka, itulah yang terjadi.
Satu hal yang pasti, semenjak bekerja jauh dari rumah dan orangtua, saya jadi belajar memahami perasaan mereka. Saya belajar mengerti makna amarah mereka.
Saya justru sering merindukan kerepotan yang saya alami jika orangtua meminta saya mengantar ke pasar atau ke rumah sakit, atau ke pengajian, atau ke tempat saudara. Dulu, saat masih tinggal bersama, saya sering merasa kesal karena waktu saya tersita, namun sekarang hal-hal seperti itu justru saya rindukan. Dulu semasa masih tinggal bersama, setiap kali ibu atau ayah saya mengomel dan marah, saya justru tutup telinga dan menjawab di dalam hati. Kesal karena diceramahi panjang lebar.
Sekarang, saat terpisah ribuan mil dari rumah, saya justru merindukan kecerewetan itu singgah di telinga. Begitulah, pepatah yang mengatakan bahwa “Kita tak pernah tahu apa yang kita punya sampai kita kehilangan” memang benar adanya. Jadi, buat kita yang masih saja melawan pada orangtua, mulai sekarang saatnya mengubah pola pikir kita.